Feriansyach

Dimensi warga negara bukan hanya Hukum dan Politik, tetapi mencakup berbagai dimensi kehidupan sebagai warga negara (Feriyansyah)

Warga Negara Digital

Warga Negara Digital Melahirkan Budaya Kewarganegaraan Baru (Feriyansyah)
 

Buku "Kewargaan Digital: Warga dalam kepungan Hiperkoneksi"

Minggu, 29 September 2019

ampak TIK terhadap kehidupan warga menjadi sebuah lahan kajian yang sangat menarik dalam bidang studi kewargaan – keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan – sebagai usaha mempersiapkan generasi digital berkontribusi dalam masyarakat digital.


info lebih lanjut : http://kitamenulis.id

FILSAFAT DAN IDEOLOGI

Rabu, 08 Agustus 2018

FILSAFAT DAN IDEOLOGI

Oleh 
Feriyansyah

Filsafat dan Ideologi merupakan kata yang sering salah konsep. Kita sering menganggapnya sama saja, karena kita tidak mau repot mendudukan dan mendaimaikan antara keduanya. sehingga kita tidak bisa sembarang menggunakan filsafat  dan ideologi, yang jelas filsafat bukan ideologi. Dimana letak perbedaannya ?

Dalam tulisan "Menggali Pancasila sebagai filsafat Politik"  karya F Budi Hardiman dapat dijadikan rujukan bagaimana kita memposisikan pancasila yang merupakan sebuah ideologi sebagai Filsafat Politik tanpa menghilangkan jiwa dari filsafat yaitu proses kemerdekaan berpikir. Megapa harus demikian, karena kita sering salah bahwa demi cita-cita luhur sebuah ideologi kita mengeliminasi rasionalitas dan proses berpikir sehingga kita seakan gagal move on  dari proses indoktrinasi ideologi sebagai satu-satunya cara  untuk mewariskan ideologi kepada generasi selanjutnya. Filsafat bukan ideologi, ideologi merupakan isi doktriner  yang lengkap dan siap pakai, sedangkan filsafat merupakan pemikiran  yang melandasi ideologi ( Hardiman 2018). Sehingga ideologi harus tetap menghormati kemerdekaan berpikir karena ideologi lahir dari sebuah kemerdekaan berpikir dan berpendapat. 

Ideologi menuntut keyakinan sedangkan filsafat sebuah proses mencari sebuah keyakinan sehingga bisa dijadikan sebuah dasar pemikiran bagi sebuah keyakinan. Sehingga dalam proses mencari dasar rasional itulah filsafat mengajak berpikir (Hardiman 2018). secanggih apapun keindahan yang disuguhkan sebuah ideologi dia menuntut kemampuan berpikir kritis dari warga negara. oleh karena itu, kedua istilah ini sering bertentangan tetapi laten dar semuanya itu tetap ada. 


Perempuan Sebgai Warganegara

Selasa, 13 Desember 2016

Perempuan Sebagai Warganegara
Oleh
Putri Atikah *
Dosen Luar Biasa Politeknik Negeri Medan, 
Alumni Magister Sosiologi USU

Tulisan ini untuk menyambut 35 Tahun Muhammad Iqbal M.Si. 

Dari berbagai kajian kewarganegaraan, sedikit yang melibatkan perempuan di dalamnya. Teoritikus seperti Marshall, Mann dan Turner pun lalai dalam melibatkan perempuan sebagai warganegara. Mann yang dipengaruhi Marxisme, memandang penting kelas ekonomi dalam kewarganegaraan. Sementara Turner, memandang penting identitas etnisitas, ras dan agama dalam isu kewarganegaraan (Faulks, 2012). Namun tidak ada di antaranya yang memandang penting perempuan dalam isu kewarganegaraan.

Perempuan yang diposisikan sebagai kelompok kelas dua setelah laki – laki, dipercayai hanya mampu mengurusi ranah privat; fungsi reproduksi yang diteruskan menjadi fungsi melayani suami dan mengurusi rumah tangga. Sementara laki – laki yang diposisikan sebagai kelompok kelas satu, dipercayai lebih kompeten dan paham tentang urusan publik, termasuk dalam hal politik (baca: negara & kewarganegaraan). Anggapan ini tentu berasal dari pembagian peran laki – laki sebagai pencari nafkah di ruang publik, maka dianggap lebih paham tentang seluk beluk ruang publik.
Dalam isu kewarganegaraan, nasib perempuan nampaknya tak jauh beda dengan nasib para kelas buruh, kelompok ras dan agama minoritas dalam sebuah negara. Perempuan seringkali menjadi korban kelalaian negara, bila tidak mau dibilang korban diskriminasi negara. Misalnya, dalam tulisannya berjudul “Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer”, Robertus Robet melihat ketertindasan perempuan sebagai warganegara melalui peraturan hukum yang merepresi tubuh perempuan. Menurutnya, dengan dalil moralitas dan pencegahan kekerasan seks, berbagai peraturan hukum cenderung merepresi tubuh perempuan, bukan malah memberikan akses keamanan bagi perempuan. Jadi, hak perempuan sebagai wargenegara yang harusnya berhak mendapatkan rasa aman, beralih menjadi kewajiban untuk menjaga “birahi laki - laki”.

Keterwakilan Perempuan dalam Negara

Keterwakilan perempuan dalam lembaga negara diharapkan dapat mewujudkan keadilan bagi perempuan sebagai warganegara. Namun demikian, yang harus dipahami, keterwakilan perempuan tidak hanya keterwakilan secara kuantitatif. Memang dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih patriarkhis, keterwakilan perempuan harus dijamin dalam suatu peraturan hukum, misalnya seperti quota 30% untuk perempuan di parlemen.
Namun hal ini masih menimbulkan banyak permasalahan, pertama perempuan sebagai kelompok kelas dua sering kali mengalami banyak hambatan, bukan hanya dari kondisi partai politik yang sering kali didominasi sudut pandang laki – laki, tetapi juga kesulitan meraup suara pemilih yang memandang perempuan sebelah mata. Kedua, alih – alih mewakili kepentingan kaumnya, perempuan sering kali malah dijadikan agen untuk melanjutkan dinasti kekuasaan laki – laki. Beberapa kasus pemilhan kepala daerah, perempuan dijadikan agen untuk meneruskan kekuasaan suaminya yang sudah berkuasa dua periode.
Dalam kondisi seperti ini, perlu dilakukan rekonstruksi maupun dekonstruksi tentang wacana perempuan sebagai warganegara. Negara maupun masyarakat punya peranan penting dalam hal ini. Pertama, pengarusutamaan jender dalam institusi pendidikan punya peranan penting. Bagaimanapun instistusi pendidikan berperan sebagai agen sosialisasi di dalam masyarakat. Pengarusutamaan jender ini diharapkan dapat menciptakan konstruksi berpikir masyarakat yang lebih adil. Kedua, penguatan potensi perempuan. Negara maupun kelompok masyarakat sejenis civil society dapat mengupayakan hal ini. Perempuan yang diposisikan sebagai kelompok ranah privat (rumah tangga) sering kali dianggap tidak kompeten bekerja di institusi negara. Oleh karena itu, akses perempuan terhadap pendidikan harus dibuka selebar – lebarnya. Walaupun pada faktanya, laki – laki yang berada di institusi negara juga banyak yang tidak kompeten, namun untuk mewujudkan perjuangan perempuan,  penguatan potensi perempuan adalah sebuah keharusan. Inilah yang akan membuat signifikansi keterwakilan perempuan di dalam institusi negara. Upaya ini diharapkan dapat mendukung keterwakilan perempuan dalam institusi negara untuk mewujudkan keadilan.

Bagaimanapun, perempuan seperti halnya laki – laki harusnya memiliki hak yang sama sebagai warganegara. Untuk mewujudkan ini, memang perlu dilakukan pula berbagai kajian kewarganegaraan yang lebih peduli pada perempuan. Kajian – kajian tersebut diharapkan dapat mendorong perwujudan keadilan bagi perempuan sebagai warganegara. Karena pada kenyataannya, perjuangan keadilan bagi perempuan sama pentingnya dengan perjuangan kaum buruh, kaum petani, kaum minoritas dan kaum terindas lainnya.

WARGA (TANPA) NEGARA

Senin, 12 Desember 2016

WARGA (TANPA) NEGARA
Oleh
Feriyansyah *
*Penulis merupakan Dosen Kewargaan FIP Unimed
**Tulisan ini menyambut 35 Tahun Muhammad Iqbal, S.Sos., M.Si. 12 Desember 2016

Perkembangan ilmu sosial dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat menakjubkan. Kajian-kajian ilmu sosial melintasi kajian yang kaku dan rigid. Kajian kewarganegaraan merupakan suatu kajian yang normatif tentang status sebagai warga negara. Status seseorang sebagai warga negara akankah menghilangkan dimensi sosial dari warga itu sendiri. 

Tulisan ini menocba menggambarkan bagaiaman konteks manusia sebagai warga dipandang dari pisau analisis sosiologi khususnya analisis post-strukturalis (Post-modern). Kajian ini tidak lepas dari perkembangan manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individu. Perdebatan antara kemerdekaan Individu yang diatur oleh hegemoni negara. Dalam beberapa diskusi oleh Muhammad iqbal, ada beberapa hal yang menjadi ketertarikan bagi penulis untuk mengkaji studi kewarganegara dari pisau analisis sosiologi.
T.H. Marshal merupakan punggawa awal dari kajian kewarganegaran di dunia. T.H. Marshal memperkenal konsep kewargaan sosial. tetapi era kejayaan modern yang strukturalis maka kajian kewarganegaraan lebih kepada pendekatan positivistik melalui kajian hukum, sebagai dampak status warga negara sebagai bentuk status warga seorang Individu. 

Dewasa ini seorang individu sebagai seorang manusia yang dikenal identitiasnya sebagai seorang warga mengalami fenomena yang paradox. Ternyata tidak semua manusia dapat masuk dalam status sebagai seorang warga negara. Ada manusia yang tidak dianggap manusia ataupun warga. Hal ini menjadi kajian menarik ketika mencoba melakukan analisis dari konsep homo Sacer yang diperkenalkan oleh giorgio Agamben.

Selanjutnya,
kajian tentan kewarganegaraan semakin menarik ketika mencoba memakai pisau analisis Michel Foucault, Pierre Bourdiue, dan Jean Baudrillard  yang diusing untuk mebongkar rezim kepastian dalam pemikiran kritis post Strukturalis dalam buku Haryatmoko. Negara tidak dapat lagi dipandanga sebagai sebuah lembaga yang penuh kebijaksanaan. Negara harus dihadapi dengan kecurigaan dengan kekuasaan yang melekat dari dirinya. Negara akan memproduksi kebenran menurut sudut pandang pandangan negara, bukan dari sudut warga. Saat ini saya lebih cocok menggunkan istilah kewargaan dari pada kewarganegaraan karena saya ingin mendekontruksi kembali hubungan antara warga dan negara. 

Kajian kewargaan, menjadi sebuah lapangan kajian yang kian seksi ketika kita mencoba menggunakan pendekatan analisis Wacana Kritis, sehingga, kajian kewargaan jelas harus berpihak kepada warga untuk mebongkar hegemoni kepastian dan kebenaran yang diproduksi oleh negara. Sehingga, dekontruksi terhadap kebenaran pengetahuan yang diproduksi negara akan di kritisi oleh warga sehingga warga tersadar bahwa mereka sedang dibentuk sebagaimana konsep disiplin dan tbuh Foucault. Warga juga harus terbebas dari Panoptik yang seakan-akan melahirkan ketakukan bagi warga untuk mengkritisi negara. 

Warga negara merupakan sebuah entitias yang merdeka dari berbagai hegemoni. Negara sebagai sebuah Republik perlu menjaga mana bagian private warga dan urusan publik warga. Negara tidak bisa lagi menjadi lembga yang memperdaya warga bahkan membodhi warga. Negara terbentuk oleh warga bukan sebaliknya seorang warga terbentuk oleh negara. 

Tulisan ini merupakan bentuk, penghargaan akan diskusi-diskusi yang dilakukan oleh penulis oleh Muhammad Iqbal sebagai seorang sosiolog (Sosiologi Pendidikan) seorang Soiologi Kewargaan. smeoga kajian kedepannya dapat membongkar bagaimana kekuasaan ternyata meperdaya kita sebagai seorang manusia yang menjadi seorang warga. 
terima kasih, semoga dalam usia yang semakin matang beliau dapat terus mengembangkan keilmuan, dan kajian-kajian sosial baik tingkat lokal Sumatera Utara dan Nasional bahkan Internasional. Tetap Membaca dan selalu menghadirkan distinction  dalam artian invoasi. 

Medan 121216.
Feriyansyah

Test Wawasan Kebangsaan PKn MKU Billingual Mathematics

Senin, 07 November 2016

Untuk Mengikuti ujian test wawasan Kebangsaan siahkan Klik disini

Terima kasih

Feriyansyah

Lorem

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.

Ipsum

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.

Dolor

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.