Feriansyach

Dimensi warga negara bukan hanya Hukum dan Politik, tetapi mencakup berbagai dimensi kehidupan sebagai warga negara (Feriyansyah)

Warga Negara Digital

Warga Negara Digital Melahirkan Budaya Kewarganegaraan Baru (Feriyansyah)
 

Konstruksi Warga Negara Melalui Sistem Pendidikan

Senin, 16 Mei 2016

Konstruksi Warga Negara Melalui Sistem Pendidikan
(catatan tujuan pendidikan nasional masa orde baru dan reformasi)

Oleh
Feriyansyah

Siapa dan bagaimana warga negara Indonesia ? pertanyaan yang akan memulai dalam tulisan ini. Pada masa Hindia Belanda, Hindia Belanda membagi tiga kompoenen dari warga Hindia Belanda, Eropa, Timur Asing dan Bumi Putra, yang ketiga-tiga memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sebagai seorang warga.
Disadari atau tidak setiap negara berushaa membentuk warga negara agar sesuai dengan keinginan negara. Negara yang dikelola oleh penguasa, dengan relasi kuasa mebentuk warga negara sesuai dengan konsep dan kebenaran yang mereka ciptakan. Jika memandang dari padangan Foucault menyajikan pemahaman yang lebih mendalam guna memberikan dasar mengenai bagaimana warga (manusia,pen) sebagai sebuah konsep politik terbentuk (Robert dan Hendrik 2014). Dari pernyataan Foucault ini  memberikan gambaran bahwa kontruksi diri warga terbentuk dari kekuatan diluar dirinya. Hal ini terlihat bahwa pembentukan identitas warga negara terbentuk kekuatan kuasa dari negara.
Awal kemerdekaan terjadi perdebatan siapa yang menjadi warga Indonesia? ada konsep tentang orang Indonesia asli dan warga keturunan. Selanjutnya dalam orde baru pasca peristiwa 1965 ada negara mengkontruksi warga Pancasilais, Agamis dan warga komunis, sebagai hasil dari peristiwa politik tersebut. Negara kembali menghasilkan pengetahuan tentang siapa dan bagaimana warga negara Indonesia.
Pasca reformasi, disadari atau tidak ada sebentuk pemebntukan konsep untuk mengkontruksi warga negara negara Indonesia kembali berdasarkan kondisi sosial dan ekonomi, warga miskin, menengah kebawah, menengah keatas, masyarakat atas. Beberapa bulan lalu, menarik ketika terjadi perdebatan ketika ada pengosoangan kolom agama, maka Negara kembali mengkontruksi warga yang memeluk agama yang diakui dan agama yang tidak diakui bahkan ada yang dianggap melenceng dari ajaran agama yang keenam, maka diluar itu diaggap warga kelas kedua. Selanjutnya dalam bidang politik lebih menyedihkan lagi, warga hanya sebagai komoditas untuk mendpatkan legitimasi kekuasaan, sehingga upaya pembodohan warga negara di bidang politik merupakan usaha untuk terus melanggengkan kekuasaan. Padahal jiwa dari demokrasi adalah partisipasi cerdas dari warga negara.  Oleh karenya, didalam pemikiran Foucault pertanyaan mengenai warga harus memulai dengan pertanyaan mendasar “bagaimana kekuasaan bekerja dalam sejarah dalam membentuk siapa itu warga?”
Sebagai contoh kita ambil dari dua sistem pendidikan nasional Indonesia, dalam UU. No 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan  bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Tujuan pendidikan Nasional Indonesia diharapkan membentuk manusia Indonesisa :  dari tujuan pendidikan diatas bahwa negara secara sadar akan membentuk warga negara Indonesia dengan ke sembilan karakter yang harus tumbuh dan berkembang dalam diri warga negara. UU No. 20 taun 2003 adalah aturan hukum yang muncul pasca peristiwa reformasi.
Untuk menjadikan bahan perbandingan kita lihat tujuan Pendidikan dalampasal 4  UU no. 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional yang muncul pada era orde baru. Dalam UU Sisidiknas tahun 1989 tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya yaitu Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Ada beberapa perbedaan yang mendasar ketika kita melihat tujuan dari pendidikan nasional Indonesia pertama, UU No. 20 tahun 2003 memberikan garis tentang berakhlak mulia, sedangkan dalam UU Sisdiknas 1989  konsep yang dibangun adalah berbudi pekerti luhur, sehingga muncul satu pertanyaan bagaimana negara memberikan standarisasi dari warga yang berakhlak mulia dengan berbudi pekerti luhur. Walau keduanya sama-sama berbicara tentnag tabiat seorang manusia. Pada era orde ada badan-badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengajarkan bagaiamana penafsiran Pancasila yang dihasilkan negara untuk menciptakan warga negara yang berudi pekerti luhur. Menurut hemat saya pada era reformasi (UU Sisdiknas tahun 2003) warga negara mebentuk dirinya dari berbagai ajaran kebaikan dari keyakinan yang dianutnya – walaupun akhirnya akan adanya standarisasi beragama lagi –. Pancasila pada era itu benar-benar ditafirsan sampai secara praktik. Lihat contoh BP7 ( Badan Pembina Pelaksana Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila atau mata pelajaran PMP ( Pendidikan Moral Pancasila).
Kedua,  pada era reformasi sistem pendidikan harus menghasilkan warga negara yang demokratis dengan sistem pendidikan yang demokratis, sedang pada masa orde baru (UU No. 2 Tahun 1989) serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jika kita dapat memaknai rasa tanggung jawab kamsyarakatan dan kebangsaaan bisa disalah tafsirkan harus mengikuti apa yang diinginkan oleh negara. Sedangkan warga negara yang demokratis sangat mengharap warga negara untuk mampu berpikir kritis agar mampu berpartisipasi secara cerdas.
Penutup
Warga negara merupakan instrumen penting bagi sebuah negara untuk mencapai tujuanya. Tetapi relasi kuasa yang terbentuk bukan justru menghilangkan sisi kemanusiaan dari warga negara. konsepsi warga negara Indonesia akan terus berkembang sesuai dengan produksi pengetahuan dari relasi kuasa.  Jadi sejarah kontruksi siapa itu warga terus berkembang. Tulisan ini sebuah refleksi sederhana yang masih banyak kekurangan, semoga bermanfaat.


0 komentar:

Posting Komentar

Comment as a good and Smart Digital Citizens, "say no to plagiat"

Lorem

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.

Ipsum

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.

Dolor

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.