Feriansyach

Dimensi warga negara bukan hanya Hukum dan Politik, tetapi mencakup berbagai dimensi kehidupan sebagai warga negara (Feriyansyah)

Warga Negara Digital

Warga Negara Digital Melahirkan Budaya Kewarganegaraan Baru (Feriyansyah)
 

Download RPP dan Format Penilaian PKn SMP Kurikulum 2013

Rabu, 05 November 2014

oleh 
Silvia Rahmelia 

Kurikulum 2013 telah bergulir , walau tahunnya sudah terlewat karena saat ini sudah memasuki tahun 2014 tetapi masih banyak yang dibutuhkan untuk mehamai kurikulum 2013. Berikut  terdapat  perangkat pembelajaran PKn di SMP hasil dari Program Praktek Lapangan (PPL) yang dilaksanakan saudari  Silvia Rahmelia seorang mahasiswa angkatan 2011 Jurusan PKn Universitas Pendidikan Indonesia yang bernama Silvia Rahmelia di SMP Negeri 12 Bandung.

Terima kasih kepada saudari Silvia Rahmelia yang telah berbagai dan sharing informasi di blog studi Kewarganegaraan. Bagi Anda  yang bermintas silahkan download file yang berisi perangkat pembelajaran termasuk  Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan format Penilaian PKn pada kurikulum 2013 di tingkat SMP. Bagi anda yang membutuhkan sebagai bahan untuk anda mengajar silahkan download dengan mengklik disini.

terima Kasih Semoga Bermanfaat.

*Bagi anda yang berminat untuk berbagai melalui grup Studi Kewarganegaraan, dapat berupa tulisan, opini, perangkat pembelajaran atau bertanya tentang kajian Pendidikan Kewarganegaran silahkan hubungi kami di feriansyach@gmail.com.


Mempersiapkan “Digital Native” menjadi “Warga Negara Digital”

Rabu, 02 Juli 2014

Oleh
Feriyansyah *
Istilah Digital Native merupakan istilah yang digunakan oleh Marc Prensky dalam artikelnya pada tahun 2001 yang berjudulDigital Native dan Digital Immigrant” artikel ini menjadi momentum menyadarkan kita bahwa generasi kita saat ini hiudp di zaman yang berbeda dari saman Ayah dan Ibu nya. Prensky mengatakan “ Our students have canged radically. Today’s Student are no longer the people our educational system was designed to teach (Prensky 2001:1). Siswa kita berubah secara radikal, Dewasa ini siswa tidak lagi menjadi masyarakat dalam sistem pendidikan kita yang didesain untuk diajar. Teknologi digital telah merubah siswa kita saat ini, Sehingga siswa tidak lagi seperti siswa-siswa seperti generasi sebelumnya. Mereka terbiasa hidup sehari-hari dengan berbagai teknologi digital yang dekat dengan mereka. Generasi ini hidup di tengah arus informasi yang mengalir deras.

Digital Native
http://www.trintech.com/wp-content/uploads/2013/10/digital_native.jpg



Penulis teringat pernytaan agung dari Ali Bin Abi Thalib yang mengatakan “didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup dizaman yang berbeda dari zamanmu”. Jika kita kaitkan dengan artikel Prensky bahwa anak-anak kita saat ini merupakan “Digital Native” atau pemukim digital (penduduk asli digital). Sedangkan para orang tua mereka merupakan para imigran di dunia digital. Orang tua, lembaga pendidikan, dan guru serta berbagai pihak harus menyadari hal ini. Jika Prensky 14 tahun yang lalu telah mengenalkan kita bahwa digital native telah lahir maka  saat ini para pemukim digital ini juga akan tumbuh dan menjadi dewasa.
Digital Native akan menjadi orang dewasa dan membawa budaya digital yang melekat pada diri mereka. Tetapi dalam prosesnya mereka perlu di persiapkan menjadi seorang warga negara digital. Istilah warga negara digital merupakan istilah yang digunakan bagi warga negara yang terbiasa menggunakan teknologi digital dalam kehdiupan sehari-hari bahkan ketika beraktivitas sebagai seorang warga negara. Kemajuan teknologi digital telah menghadirkan ruang-ruang baru bagi warga negara, ruang virtual bagi warga negara tercipta dimana warga negara digital akan terhubung satu sama lain, terhubung dengan pemerintah melalu teknologi digital serta berbagai aktivitas lain.
Disadari atau tidak Digital Native harus dipersiapkan menjadi seorang warga negara digital. Pemukim digital ini harus dipersiap melalui program pendidikan agar mereka memiliki karakteristik yang mereka butuhkan di era digital. Sehingga menjadi pertanyaan besar bagaimana mempersiapkan Digital Native  menjadi seorang warga negara ?
Digital Native  hidup di lingkungan digital yang mengglobal dimana arus informasi dari seluruh dunia dengan mudah di akses. Informasi yang mengglobal ini tentnunya akan membawa berbagai nilai yang berasal dari asal informasi tersebut. Nilai-nilai ini bisa saja tidak sesuai dengan nilai dasar masyarakat kita. Digital native memang generasi yang menglobal tetapi mereka juga harus memiliki identitias yang kuas ketika berinteraksi secara global. Identitias yang kuat lahir ketika sesorang memiliki nilai dasar yang kuat.  Oleh karena itu, Digital Native Indonesia harus memiliki identitas yang dilandasi dengan nilai-nilai dasar (nilai Pancasila ) yang kuat. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius, nilai-nilai dasar spiritual merupakan nilai yang membentuk bangsa ini yang terlembagakan di dalam rumusan Pancasila. Pada akhirnya penguatan nilai dasar bagi pemukim digital Indonesia harus dengan pendekatan digital.bagaimana proses penguatan nilai dasar sesuai dengan kondisi digital native.?
Proses pendidikan khsusunya lembaga pendidikan, orang tua dan guru harus menydari bahwa yang merka didik adalah digital Native  yang lingkungannya berbeda dari lingkungan ketika kita seusia mereka.  Pertama, kita harus mengenali dulu secara mendalam siapa digital Native?  Bagaiaman karkteristiknya, kesehariannya, dan berbagai hal yang melekat pada dirinya, perubahan-perubahan yang mereka alami. kedua, menggunakan pendekatan yang sesuai dengan dunia mereka.
Ketiga, kita harus mempersiapkan diri menjadi orang tua digital dan guru digital, sehingga kita bisa menjadi imgran yang baik “jika kita ingin memasuki dunia digital maka kita juga harus menyesuaikan diri dengan mereka”. Penulis jadi teringat dengan istilah “dimana bumi dipijak disitu langit di junjung” jika kita komparasikan bahwa generasi kita merupakan para immgran digital maka kita harus menyesuaikan dan menjunjung adat istiadat dan kebiasaan hidup para digital native.  Kita tentunya tidak bisa menjadi orang tua yang menjauhkan anak-anak kita dari teknologi digital. Hal itu sama saja kita melakukan konfrontrasi dengan para pemukim digital.
Digital Native  seperti tidak memiliki teladan bagaimana mengelola dunia digital yang mereka huni, karena orang tua mereka tidak memiliki pengalaman itu. Tetapi nilai-nilai dasar merupakan nilai-nilai yang tidak akan berubah bagaimana perubahan kondisi lingkungannya asalkan nilai-nilai itu tetap diyakini dan hidup di dalam diri nya.Oleh karena itu, Digital Native hanya memiliki lingkungan dan dunia yang berubah tetapi nilai dasar yang mereka anut tidak boleh berubah, inilah tugas kita sebagai orang tua dari digital native.  
Akhirnya, disadari atau tidak kita telah hadir di dunia para digital native, mereka hidup dengan cara yang berbeda tetapi mereka tidak boleh tercabut dari akar identitias sebagai bangsa Indonesia yang memiliki nilai spiritual yang menjadi nilai dasar. Digital Native Indonesia harus menjadi digital native yang tetap menjaga identitias ke-Indonesiaannya religius, santun, ramah dan penuh kehangatan, Sehingga akan tercipta dunia digital yang ramah, santun, religius dan penuh kehangatan. Digital Native akan menjadi seorang warga negara digital yang memiliki dilingkupi nilai dasar yang akan menjadi identitas merka ketika beraktivitas didalam jaringan sehingga nilai-nilai dasarharus benar tumbuh dan berkembang di dalam diri para digital native.

*Penulis merupakan Mahasiswa Program Magister Pendidikan Kewarganeagaraan SPs UPI,  yang sedang  melakukan penelitian tentang warga negara digital 

Warga Negara Digital : Memindah Demokrasi Ke Dunia Maya

Kamis, 03 April 2014


Oleh
Feriyansyah *

Internet bukan lagi suatu hal yang sulit untuk diakses. Internet sudah berubah menjadi sebuah kebutuhan bagi kita saat ini.  Kemajuan bidang TIK telah merubah kondisi masyarakat kita saat ini. Jika dulu internet hanya dapat diakses oleh kalangan menengah keatas,  saat ini internet sudah merambah masyarakat menengah kebawah ser bagai sebuah kebutuhan.
sumber: http://oxleylearning.org/blog/tag/digital-citizens/ 
Kemajuan TIK telah melahirkan satu generasi yang terbiasa menggunakan TIK dalam berbagai aktifitas. Generasi ini dikenal dengan generasi digital, net generation  dan ada juga yang menyebut dengan generasi Z (gen-Z). Generasi saat ini telah sebagaian telah menjadi dewasa dan telah menjadi warga negara yang memiliki Hak dan Kewajiban sepenuhnya, ini yang kita kenal dengan istilah Warga Negara Digital. Mossberger  dalam bukunya DigitalCitizenship  mendefinisikanWarga Negara Digital (Digital Citizens)merupakan mereka (Warga negara,pen) yang sering menggunakan teknologi, yang mengunakan teknologi untuk untuk memenuhi kewajiban warga negara dan mereka yang menggunakan teknologi  dalam pekerjaan untuk tujuan ekonomi.  Jadi, warga negara digital sangat akrab dengan teknologi khususnya TIK. Teknologi bagi mereka bukan lagi suatu hal yang rumit dan sulit untuk dimengerti. Bagi mereka teknologi seperti udara yang senantiasa bisa mereka gunakan.
sumber :
 http://www.epitom.org/2014/02/21/digital-marketing-sri-lanka/ 

Apa dampak warga negara digital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara? Apa keuntungan bagi warga negara untuk dapat cakap menggunakan teknologi ? memang menjadi pertanyaan yang sering memutar disekitar kita. Mossberger juga mengungkapkan tiga keuntungan ketika warga negara mampu dan cakap menggunakan teknologi digital dan TIK yaitu :
Pertama, Economical Opportunity (Kesempatan ekonomi), saat ini eknomi telah berpindah sebagian menjadi eknomi virtual, kita akan mampu memanfaatkan Tik untuk bertransaksi dengan kecepatan yang tinggi. Kita dapat berbelanja, bertransaksi, mareketing, mempromosikan potensi daerah, dan sebagainya. Sebagai contoh, dulu kita harus mengantri di Bank untuk melakukan tranfer uang, saat ini  mentranfer uang dapat dilakukan hanya dengan melakukan beberapa kali klik, dan yang penting aktivitas ini dapat kita lakukan tanpa harus berpindah dari tempat kita. Untuk dapat melakukan aktivitas seperti ini pastinya warga negara harus cakap menggunakan teknologi. Jadi, teknologi telah memberikan kesempatan ekonomi yang besar bagi warga negara.
Kedua, Civic Engagement (keterlibatan warga negara), kemajuan bidang TIK telah memindahkan keterlibatan warga negara dalam aktivitask kewarganegaraan dari dunia nyata ke dunia virtual (maya). Hal ini bukan tanpa efek, sudah banyak contoh bahwa warga negara digital terlibat aktif dalam berbagai aktivitas kewarganegaraan. Warga negara digital yagn sebagaian besar merupakan generasi digital paling tidak suka dengan birokrasi yang rumit, dalam mengurus sesuatu hal. Kemajuan TIK dapat memfasilitasi hal ini agar meningkatkan keterlibatan warga negara. sebagai contoh, Memberikan aspirasi jika dahulu kita harus mengirim surat kepada pejabat pemerintah dan belum tentu aspirasi itu dibaca atau tidak oleh sang pejabat. Tetapi saat ini, Seperti walikota Bandung telah memiliki akun twitter  untuk membicarakan berbagai hal dan menyampaikan aspirasi kepada sang walikota. Tentu, aspirasi yang cepat juga membutuhkan respon yang cepat, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan (trust) warga negara kepada pemerintah, Jika warga negara puas maka akan meningkatkan partisipasi. TIK telah merubah wajah birokrasi yang rumit menjadi bersahabat dengan warga negara.
Ketiga, political Participation (Partisipasi politik), Warga negara digital akan didatangi dengan berbagai informasi, tidak terkecuali informasi politik. Hal ini yang disebut kebanjiran informasi,  Warga negara digital berbeda dengan generasi warga negara yang terdahulu, warga negara digital merupakan Generasi Digital, mereka bukan Generasi Televisi, mereka tidak mau menjadi, warga negara pasif dalam menerima informasi, terutama informasi politik. Warga Warga negara digital merupakan warga negara yang cerdas dalam mengelola informasi menjadi pengetahuan sehingga, hal ini dapat menjadi landasan mereka dalam menentukan sesuatu, Bahkan menentukan sikap politik. Era digital telah menjadi kehidupan demokrasi lebih transparan, Sehingga warga negara digital merupakan warga negara yang otonom, mereka tidak gampang dimobilisasi oleh informasi yang menyesatkan.
Penutup
Warga negara muda saat ini adalah warga negara digital karena mereka adalah generasi digital. Mereka terbiasa menggunakan teknologi untuk berbagai aktivitas. Generasi ini memiliki  keunikan tersendiri. Untuk dapat menjadi warga negar digital yang cerdas dan baik (Smart and good digital citizens)  kita sebagai generasi sebelumnya harus mampu mengelola generasi ini menjadi generasi emas Indonesia. Karena mereka yang akan melanjutkan estafet kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah program untuk memaksimalkan Potensi generasi digital ini agar menjadi warga negara digital yang cerdas dan baik. Pemerintah, Orang tua, Sekolah, Guru harus menyadari hal ini karena saat ini kita sedang mendidik generasi digital generasi yang berbeda dari generasi terdahulu.



Buku Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan

Kamis, 27 Maret 2014

Buku Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu buku yang cukup fenomenal di kalangan akademis PKn. Buku ini telah menjadi rujukan dasar dari kajian-kajian PKn. Buku ini menyajikan teori-teori dasar dalam Pendidikan Kewarganegaraan.

Buku Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan buah karya dari tangan dingin Prof. Dr. Abdul Azis Wahab, M.A (Ed) dan Prof. Dr. Sapriya, M.Ed. yang merupakan guru besar di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan.

Akademisi PKn sangat membutuhkan buku ini untuk dijadikan landasan dalam mengembangkan khasanah keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan.






TUHAN, ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

Minggu, 09 Maret 2014

TUHAN, ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA
oleh
Feriyansyah
Tuhan, Ilmu, Filsafat dan Agama merupakan keempat hal yang senantiasa menghiasi kehidupan manusia. Sepanjang peradaban manusia, Keempat hal ini menjadi hal yang cukup krusial yang menjadi hal yang terus dibongkar dan dipahami oleh manusia. Dengan memahami keempat hal ini maka manusia akan menjadi manusia yang memiliki pencerahan karena pada hakikatnya keempat hal ini yang menjadikan manusia pantas menjadi pemimpin diatas dunia. Berkiut merupakan pencerahan yang saya dapatkan dari kuliah yang diberikan oleh Prof. Dr. G Venkataraman dari India.
Tuhan
Pencarian manusia atas Tuhan menjadi sebuah cerita panjang yang dialami manusia. Bahkan pencarian manusia akan suatu kekuatan yang besar ini menjadi dasar pemikiran awal tentang alam semesta. Jika kita percaya kepada Tuhan sebagai awal dari segala yang awal. Maka kita akan sepakati bahwa Tuhan menjadi awal dari bermula semuanya kehidupan di alam semesta. Dalam Tulisan ini bisa saja kita sebut sebagai titik awal dari kehidupan manusia.


Ilmu
Selanjutnya, Manusia diberikan amanah oleh Tuhan untuk menjadi seorang pemimpin dibumi ini untuk mengantarkan kemakmuran bagi seluruh alam. Hal ini dalam agama islam kita kenala dengan rahmatan lil Alamin.  Untuk mewujudkan kemakmuran dialam ini manusia dibekali ilmu oleh Tuhan. Ilmu ini yang mengantarkan manusia terus berpikir agar dapat bertahan hidup dan mengelola sumber daya yang ada di bumi.
Gambar 1.2. Tuhan sebagai  sumber dari ilmu manusia.Tuhan memberikan manusia ilmu untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh alam. Tetapi ilmu belum tentnu mengantarkan manusia kembali kepada Tuhan.

Ilmu hanya memberikan Separuh, dari kehidupan manusia. Ketika manusia hanya memiliki ilmu maka ilmu yang dimiliki manusia tidak akan mewujudkan kemakmuran bagi seluruh Alam. Ilmu hanya akan sampai untuk kepentingan manusia di dunia saja, dan hal ini yang sangat berbahaya ketika manusia-manusia berilmu itu melakukan kejahatan.
Manusia berilmu yang melakukan kejahatan akan lebih berbahaya dari hewan liar yang mengamuk. Manusia berlmu yang jahat akan dapat merusak keseimbangan dunia. Manusia berilmu yang jahat akan merugikan jutaan manusia sekali melakukan kejatahan. Kita bisa lihat fenomena yang terjadi saat ini. Fenomena orang-orang berilmu yang melakukan kejatahan (kejatahan kerah putih). Kejatahan kerah putih merupakan kejatahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu. Hal ini merupakan contoh nyata bahwa saat ini lembaga-lembaga pendidikan kita hanya menghasilkan setan-setan yang pintar.
Bagaimana untuk mengatasi munculnya setan-setan yang pintar dari lembaga pendidikan kita? Disinilah muncul bagaimana kita membutuhkan Filsafat agar manusia tahu hakikat yang mendasar dari dirinya. Untuk apa dia hidup? Apa amanah yang diberikan Tuhan kepadanya? 
Filsafat
Filsafat merupakan aktifitas untuk mengajak manusia agar berpikir secara mendalam tentang berbagai hal yang ada pada dirinya dan disekitarnya. Sehingga Filsafat menjadi dasar agar manusia paham tentang hakikat dirinya sebagai pemimpin alam semesta untuk mewujudkan kemakmuran di alam. Jika dulu Filsafat digunakan untuk mencari ilmu agar manusia dapat mengembangkan kehidupannya, Sekarang, Filsafat untukmencari hakikat dari ilmu apakah benar ilmu yang dimiliki manusia untuk kemakmuran di alam ini?.


  
Gambar 1.2. Tuhan sebagai  sumber dari ilmu manusia.Tuhan memberikan manusia ilmu untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh alam. Tetapi ilmu belum tentnu mengantarkan manusia kembali kepada Tuhan.


Filsafat akan menghantarkan manusia kepada pencerahan bahwa Tuhan merupakan Sumber dari seluruh yang ada di alam Semesta. Filsafat menjadi tahap dari manusia untuk berpikir secara mendasar. Sehingga dalam gambar diatas Filsafat diletakkan di dasar. Tetapi dari dasar itulah akan menghantarkan manusia kembali kepada Tuhan. Pada akhirnya akan menghantarkan manusia kepada agama sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Agama
Apa itu sebenarnya agama ? untuk apa itu agama ? bahkan saat ini agama menjadi sumber konflik yang terjadi ? Proses pencarian




Gambar 1.2. Tuhan sebagai  sumber dari ilmu manusia.Tuhan memberikan manusia ilmu untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh alam. Tetapi ilmu belum tentnu mengantarkan manusia kembali kepada Tuhan.

Filsafat tadi akan mengantarkan kita bahwa Ilmu yang dilandasi dengan Filsafat akan menghasilkan insan yang bertakwa kepada Tuhan. Agama akan mengantarkan kita titik awal dari kehdiupan kita sebagai manusia. Kita akan mempertanggungjawabkan Ilmu yang kita dapatkan kepada Tuhan. Sehingga manusia akan kembali kepada titik awal sehingga sempurnalah kehidupan kita sebagai manusia yang memiliki Ilmu selanjutnya paham tetang hakikat ilmu itu,selanjutnya akan mengahantarkan kita menjadi hamba yang taat dan bertakwa kepada Tuhan.
Itulah intisari dari manusia mulai dari penciptaannya, kemudian dia diberikan ilmu, selanjutnya dia akan berpikir sebagai seorang filsuf yang akan menjadikan hamba yang merendah dengan ilmu yang dimiliki. Selanjutnya akan menjadi hamba yang taat melalui agama yang dianutnya. Akhirnya manusia akan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan sepanjang hidupnya, terutama ilmu yang dimilkinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Seminar dan Loka Karya Nasional Pembahasan Kurikulum S1 PPKn Berorientasi KKNI

Jumat, 17 Januari 2014

Diberitahukan kepada Ketua Prodi PPKn, Dosen / Guru PPKn, dan Praktisi serta Pemerhati PPKn se – Indonesia bahwa AP3KnI mendapat mandat dari Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti untuk merumuskan kurikulum S1 PPKn. 
Pada  : Hari Sabtu-Minggu, 15-16 Februari 2014, 
Pukul : 08.00 – selesai, 
Tempat di LOJI Hotel Jl. Hasanudin 134 Punggawan, 
Solo (Surakarta).JATENG

Mengingat pentingnya acara ini, maka kami sangat mengharapkan partisipasi dan kehadiran bpk/ibu/sdr sekalian. Mengingat kapasitas ruang yang terbatas, maka mohon konfirmasi kehadiran paling lambat tanggal 7 Februari 2014 melalui Sdr. Danang (085740062058) atau Triyanto (08121501029).

Info Lebih Lanjut dan download Undangan, Leaflet dapat di unduh di :
AP3KNI Jawa Tengah



Membangun Kecerdasan Teknologi (Technological Intelegences) Warga Negara Di Era Digital

Membangun Kecerdasan Teknologi (Technological Intelegences) Warga Negara Di Era Digital

Oleh
FERIYANSYAH
Umat manusia saat ini telah memasuki era kemajuan teknologi yang begitu pesat. Manusia saat ini senantiasa terhubung dengan Gadget yang ada di genggaman mereka dengan terkoneksi oleh jaringan internet. Internet yang merupakan anak kandung dari kemajuan Teknologi terutama teknologi informasi dan Komunikasi, bukan lagi suatu yang sulit untuk di akses bahkan saat ini internet telah berubaha menjadi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi. Saat ini alat-alat telekomunikasi menjadikan jaringan internet sebagai fitur utama agar dapat terkoneksi dengan sosial media yang populer seperti facebook, twitter, e-mail, dan sebagainya.

Belakangan ini banyak kasus yang timbul awalnya dari dunia maya (Sosial media) yang berdampak besar di masyarakat. Seperti : kasus curhatan Prita di Milis , Video pelecehkan gerakan shalat oleh Siswi SMA yang diunggah di Youtube, suami yang meng-unggah ketika berhubungan suami istri yang dikarenakan dendam dengan mantan istrinya, dan yang terakhir peristiwa seorang mahasiswi yang menunjukkan kemarahannya di twitter dengan men-twet  pernyatakan yang menyinggung sebuah fakultas dikampusnya yang berujung sanksi dari kampus kepada mahasiswi tersebut, selanjutnya foto atau video pribadi yang menyebar di dunia maya diakibatkan kelalaian dan ketidak sengajaan.
Peristiwa-peristiwa di atas sebenarnya disebabkan faktor utama bahwa kecerdasan berteknologi warga negara kita masih kurang. Negara seakan lupa menyiapkan warga negara untuk menghadapi kemajuan teknologi. Padahal Kemajuan Teknologi tidak dapat lagi di hindari oleh warga negara (manusia). Negara sebagai otoritas tertinggi seharusnya membentuk warga negara agar mampu menggunakan teknologi secara cerdas dan bijak. Oleh karena itu, Negara penting untuk membangun kecerdasan teknologi.
Membangun kecerdasan Teknologi (technologi Intelegences) diharapkan dapat ter-integrasi dalam kurikulum nasional. Istilah Kecerdasan Teknologi (Technological Intelegences) pertama kali saya dapatkan dari salah satu kutipan buku Prof. Udin S. Winataputra dan Prof Dasim Budimansyah,  berkaitan dengan Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan di Abad 21.  Beliau menyatakan :
“ Visi – Kurikulum dan Pembelajaran PKn di Abad 21 – pada dasarnya terpusat pada pengembangan “learning intellegence” dalam dimensi-dimensi “Social, cultural. Political, economic, and technological intelligences…” (Winataputra dan Budimansyah 2012:3). 

Dari pernyataan beliau bahwa Warga negara di Abad 21 diharapkan menjadi “Civic Learner” warga negara pembelajar, dengan pengemangan kecerdasan belajar, Globalisasi dan kemajuan teknolgi menjadi hal yang dihadapi  warga negara.  Sehingga, warga negara terutama warga negara muda harus dibekali oleh  Kecerdasan Teknologi (technological Intelegences) untuk menyongsong era digital. 

Pendidikan tidak bisa hanya diam menyambut Perubahan-perubahan yang terjadi karena Ilmu (ilmu pendidikan) selalu tertinggal selangkah dari kondisi saat ini. Sehingga Ilmu Pendidikan harus terus mengkaji bagaimana mempersiapkan warga negara yang mampu berkontribusi di era digital. 

Ketika Warga Negara memiliki Kecerdasan Ber-teknologi tinggi maka peristiwa sebagaimana diatas tidak akan  terjadi lagi. Dengan kecerdasan ber-teknologi maka warga negara secara sadar mampu memilah perbuatan positif yang dilakukan ketika menggunakan teknologi terutama Teknologi Informasi dan Komunikasi. Warga negara juga dapat memafaat teknologi secara optimal untuk keuntungan dirinya ketika memiliki Kecerdasan Teknologi. 

Kemajuan Teknologi tidak dapat dihindari umat manusia, sehingga yang bisa kita lakukan adalah menyiapkan diri kita dan generasi muda untuk siap menyongsong era Digital ini dengan Kecerdasan ber-Teknologi (technological Intelegences). 

Mahasiswa  Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan 
aktif di Permata Sumut Community
www.permatasumut.blogspot.com
Editor " Alan Mubarak ' www.e-educasiana.blogspot.com "
Tulisan ini dipublikasikan juga di 
1. http://e-educasiana.blogspot.com/2013/09/membangun-kecerdasan-teknologi.html
2. http://citizenshipstudycentre.blogspot.com/2013/09/membangun-kecerdasan-teknologi.html

Generasi Z Dalam Perpektif Pendidikan Kewarganegaraan ( To Be Create A Smart and Good Digital Citizens)

Generasi Z Dalam Perpektif Pendidikan Kewarganegaraan 
( Untuk Meciptakan Warga Negara Digital yang Cerdas dan Baik)

Oleh 
FERIYANSYAH

Abstrak

Salah satu perkembangan isu global kontemporer adalah perkembangan teknologi yang kian maju dan modern. Salah satu dampaknya adalah melahirkan generasi baru yang disebut dengan generasi Z. Generasi tersebut tidak lain berasal dari anak-anak hingga orang dewasa. Tetapi yang menarik adalah anak sebagai peserta didik disekolah merupakan bagian dari generasi Z.  Hal ini dikarenakan mereka lahir di era digital dimana jaringan internet bukan lagi hal yang sulit untuk diakses bahkan sudah menjadi kebutuhan. Generasi Z ini merupakan generasi emas yang diproyeksikan sebagai generasi yang hidup ketika NKRI berusia 100 tahun pada tahun 2045.  Sehingga, Generasi Z ini jangan sampai salah mendidiknya karena akan berdampak pada rencana pencapaian rencana Indonesia gold pada tahun 2045 mendatang. Oleh karena itu, PKn memiliki tanggung jawab yang besar mempersiapkan mereka untuk menjadi warga negara yang siap mengambil peran maksimal sebagai warga negara digital. Menjadi suatu keharusan untuk mendidik Generasi  digital atau Generasi Z menjadi warga negara digital yang cerdas dan baik (smart and good Digital Citizens) dalam menggunakan teknologi. Kecerdasan berteknologi tersebut akan menopang kehidupan yang harmonis baik di masyarakat nyata (real) dan di masyarakat digital. Sebagai salah satu dari perkembangan kajian kewarganegaraan di era digital tentang bagaimana mempersiapkan warga negara  memiliki kecerdasan berteknologi (technological Intelegences) agar menjadi warga negara digital yang cerdas dan baik melaui program Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu PKn dapat menjadi sebuah pendidikan disiplin ilmu untuk mempersiapkan generasi Z untuk menjadi warga negara digital yang cerdas dan baik.
Kata Kunci : Pendidikan Kewarganegaraan, Generasi Z, Warga Negara Digital, Masyarakat digital.

Tulisan ini dipublikasi dalam Prosiding : Seminar Nasional Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Implementasi Kurikulum PKn 2013  Diterbitkan oleh Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). ISBN 978-602-8418-26-3

ANCAMAN LAKALANTAS BAGI USIA PRODUKTIF

       Oleh

Feriyansyah

Usia Produktif merupakan usia yang sangat potensial bagi kemajuan suatu bangsa karena diusia produktif seseorang memulai karir kehidupan demi masa depan yang lebih baik dimasa depan. Dalam hal ini penulis usia produktif mulai usia sekolah sampai usia 35 tahun karena pada jenjang usia tersebut seseorang memiliki obsesi yang besar untuk merencanakan masa depan. Merencakan masa depan mulai belajar disekolah, Universitas kemudian bekerja. Dalam kegiatan rutin usia produktif ini baik itu bersekolah, kuliah, bekerja dsb tidak terlepas dari kegiatan berlalu-lintas. Hal ini dapat dilihat pagi hari maka jalanan akan dipenuhi oleh oleh usia produktif yang melakukan kegiatan berlalu lintas.

Jalan merupakan tempat bertemunya berbagai kepentingan para  pengguna jalan, sehingga ketertiban menjadi sebuah keharusan untuk mencegah terjadinya gangguan dijalan agar dapat mencapai tujuan pengguna jalan (Usia Produktif,pen) tercapai sesuai rencana. Tetapi saat ini ketertiban dijalan seperti hal yag sangat sulit diwujudkan karena munculnya ke-egoan bahkan super ego dari para pengguna jalan yang mementingkan kepentingannya masing-masing tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Ketika perilaku ini terus tumbuh maka potensi terjadi gangguan dijalan semakin besar seperti kemacetan bahkan kecelakaan lalu lintas.

Ancaman Kecelakaan Lalu lintas
Kecelakaan Lalu lintas saat ini merupakan ancaman yang sangat Besar yang kapan saja siap menerkam Usia Produktif.  Karena usia produktif merupakan pengguna jalan terbesar ketika akan memulai atau mengakhiri aktifitasnya. Berikut merupakan data Lakalantas dari Dirjen Perhubungan Darat (Hubdat) dalam PDDA 2011 jumlah korban meninggal sebesar 31.185 jiwa luka berat 36.767 jiwa serta luka ringan 108.811 jiwa. Hal ini jika kita hitung bahwa dalam satu jam setiap harinya kira-kira 4 Jiwa menjadi korban meninggal Lakalantas di Indonesia. hal ini merupakan angka yang sangat memprihatinkan karena pasti akan berdampak terhadap perekonomian bagi keluarga korban meninggal karena usia para korban
Lakalantas sebagian besar usia produktif antara 5-25 Tahun, sebanyak 40 % dari jumlah total kroban meninggal laka lantas. Pada Usia ini kalau kita lihat merupakan usia seseorang berstatus sebagai siswa sekolah (SD, SMP, SMA) dan mahasiswa (universitas) kita bayangkan bagaiaman hancurnya harapan orang tua ketika anak mereka menjadi korban Lakalantas. Jika dilihat dari korban luka berat maka kemungkinan dapat mengakibatkan kecacatan permanen bagi korban Lakalantas dan hal ini akan berdampak langsung bagi harapan dan cita-cita serta masa depan dari korban lakalantas. Akibat yang ditumbulkan oleh peristiwa Lakalantas.

Pastinya harus ada solusi yang diambil untuk mencegah angka korban Lakalantas terus berkembang dikemudian hari. Dalam hal ini penulis memberikan solusi pada usia ini dengan membagi usia 5-17 Tahun dan usia 18-60 Tahun, sebagai berikut :
Solusi usia 5-17 tahun 
pertama Larangan Siswa mengendarai Kendaraan Bermotor ke Sekolah. Saat ini sebagaian besar siswa di sekolah yang jika kita lihat usia belum cakap berkendara karena tidak berhak memiliki SIM (Usia sekolah biasanya dibawah 17 Tahun) tetapi dengan leluasa mengendarai sepeda motor ke Sekolah. Hal ii dapat menambah besar potensi dari usia sekolah untuk menjadi korban Lakalantas dalam hal ini ketegasan pihak sekolah untuk melarang siswa mengendarai kendaran bermotor (sepeda motor bahkan mobil) ke sekolah.  Dalam hal ini Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan ,pihak Sekolah, Guru serta Orang Tua harus ikut andil. Terutama Orang tua jangan memberikan kendaraan bermotor kepada anak yang belum cakap memiliki SIM karena sama saja mengantarkan anaknya untuk menunggu antrian menjadi korban Lakalantas.
Kedua Dan hal ini harus didukung oleh semua pihak dalam hal ini Pemerinah dapat mengaktifkan kembalimoda transportasi khusus untuk siswa yaitu Bus Sekolah.  Jadi Lakalantas merupakan masalah yang sangat besar mengancam generasi muda selain dari Narkoba. Paling tidak moda tranportasi umum hars ditingkatkan keamanan, kenyamanan dan ketepatan waktunya sehingga dapat menjadi moda andalan siswa untuk beraktifitas ke sekolah.

Solusi usia 18-60 Tahun
 Dalam hal ini usia 18 s/d 25 dimasukkan untuk solusi dalam usia 35-60 Tahun karena sudah cakap berkendara dan berhak memiliki SIM. Untuk Jenjang usia ini dampak yang ditimbulkan karena pada jenjang usia seperti 25 s/d 60 Tahun merupakan usia sebagai kepala keluarga atau tulang punggung perekonomian ketika usia ini menjadi korban Lakalantas maka akan berdampak pada keluarga yang ditinggalkan karena akan kehilangan tulang punggung keluarga atau bahkan ketika menjadi korban luka berat dan menimbulkan kecacatan maka akan menambah beban ekonomi bagi kerluarga.

Solusi pertama untuk jenjang usia ini tidak lain usaha sadar untuk terus melakukan sosialisasi atas pentingnya perilaku taat dan tertib dalam berlalu lintas dan menjunjung etika dalam berlalu lintas. Etika berlalu lintas menjadi sebuah keharusan untk mewujudkan tertib berlalu lintas sehingga dapat menekan angka terjadinya Lakalantas. Kedua, Penegakan Hukum menjadi keharusan dalam mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas dan akan menimbulkan efek jera dari para pelanggar. Maka untuk penegakan hukum ini harus didukung juga oleh aparat Penegak Hukum yang Profesional tidak gampang diajak damai dijalan.

Penutup 
Kecelakaan lalu lintas menjadi ancaman besar bagi usia Produktif (Pelajar dan Pekerja) sehingga Solusi untuk menekan angka Lakalantas menjadi sebuah keharusan dan wajib didukung oleh semua pihak yang terkait karena Lakalantas dapat menjadi sebuah masalah Nasional suatu negara ketika angka tersebut besar dan akan berdampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia. Sehingga Zero Accident menjadi agenda mendesak yang harus kita laksanakan. Tertib Berlalu lintas merupakan Budaya Bangsa, Jayalah Satlantas Polri, Lindungi Generasi dari Lakalantas.

Penulis Siswa Sekolah Pascasarajana UPI
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, 
Alumnus S1PKn Unimed serta Inisiatior Permata Sumut Community 

Tulisan ini di publikasikan juga di  http://e-educasiana.blogspot.com/2013/09/ancaman-lakalantas-bagi-usia-produktif.html


Pendidikan dalam Keluarga Bagi Generasi Z

Sabtu, 11 Januari 2014

Oleh
FERIYANSYAH

Keluarga merupakan pendidikan utama bagai seorang anak dalam perkembangan kepribadiannya. Karena anak akan belajar mengenal dunia diawal kehidupan dalam lingkungan keluarga. Usia batita (bawah tiga tahun)  dan balita (Bawah lima tahun) merupakan usia kritis dalam perkembangan anak, dalam artian pada usia tersebut anak benar-benar membutuhkan peran orang tua karena usia tersebut anak mulai  belajar hal-hal mendasar bagi kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu, orang tua seharusnya memiliki peran yang besar dan bahkan tidak tergantikan dalam mendidik anak pada usia kritis ini.

Perkembangan Teknologi mengakibatkan dampak yang luar biasa pada kehidupan manusia. Kita bisa melihat bagaimana perkembanganteknologi mengakibatkan mobilitas manusia semakin cepat sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Perubahan ini berdampak pula terhadap peran orang tua dalam kehidupan anak. Dalam membagi ini kita dapat melihat teori generai dari Strauss dalam membagi generasi mulai dari tahun 40-an sampai sekarang. 

Dalam teori  Generasi yang diungkapkan Strauss, anak-anak yang saat ini berada di Sekolah merupakan Generasi Z, yaitu generasi yang dilahirkan antara tahun 1994 sampai sekarang. Generasi Z lebih dikenal dengan generasi digital karena mereka lahir pada era digital, dimana peralatan digital telah menjadi bagian yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.  Anak-anak generasi Z dilahirkan oleh orang tua yang merupakan Generasi X akhir dan Generasi Y awal. 

Generasi X akhir dan Generasi Y awal merupakan generasi workaholic (pecandu Kerja) tipikalnya pekerja keras. Kedua generasi saat ini saat ini sudah berada dalam kemapamanan ekonomi dibanding generasi sebelumnya. Generasi X akhir dan Generasi Y  merupakan generasi yang sangat besar secara kuantitias dan para Pasukan/Angkatan Pekerja (workforce).

Dengan Kondisi Generasi Akhir X dan Generasi Y terjadi pergeseran fungsi keluarga, keluarga seperti ikatan formal saja. Dengan Kesibukan workaholoic (baik laki-laki dan Perempuan dalam generasi X dan Y, pen) dari orang tua sehingga anak kurang mendapatkan kasih sayang. Waktu kebersamaan dengan anak sangat terbatas, dan bahkan orang tua pulang ketika anak sudah tidur. Sehingga ini yang dikatakan bahwa Kemajuan Teknologi elektronik telah menggeser kedudukan orang tua sebagai sumber informatik, pepatah, ceritera, dongeng, dan sebagai media pendidikan agama yyang telah difilter orang tua, diganti dengan berbagai judul yang tidak sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan anak. Sehingga Kecenderungan-kecenderungan diatas menunjukkan adanya pergeseran fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan. 

Sebagaimana Sebuah perkataan Ali bin Abi thalib 
“ belajarkanlah anak-anak kamu karena mereka adalah makhluk yang akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu sekarang” 

Hal ini penting menjadi dasar perenungan kita bahwa ana-anak kita akan hidup dalam kondisi yang berbeda dengan kita saat ini. Sehingga pendidikan harus mampu berjalan melintasi waktu ntuk dapat memprediksi kebutuhan anak-anak dalam belajar sesuai dengan zamannya. Dalam hal ini, Orang tua juga harus belajar bagaimana mendidik anak agar orang tua mengetahui kebutuhan anak dalam belajar. Bukan menentukan anak untuk belajar apa sesuai dengan keinginan orang tua. Orang tua menjadi orang tua helicopter yang mengontrol anak dan memeberikan anak semua tetapi tanpa didasari pengetahuan tentang kebutuhan nyata anak dalam belajar yaitu kehadiran kehangatan dari orang tua, bukan materi yang hadir. 

Jelas permasalahan, perbaikan pendidikan dan pemecahan permasalahan pendidikan harus disertai tranformasi dan penataan budaya pendidikan dalam keluarga. Revitalisasi fungsi keluarga, hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan pendidikan bagi keluarga dan calon orang tua tentang tanggung jawab mereka ddalam mendidik anak ditengah kesibukan yang luar bisa dari orang tua yang workaholic. Seperti ketika akan berkeluarga penting kiranya dilakukan pendidikan pra-keluarga untuk mendidikan para calon orang tua akan tanggung jawab mereka terhadap generasi yang mereka hasilkan. 

Anak yang cerdas dan Sholeh menjadi sebuah dambaan dari tiap keluarga , anak cerdas yang sholeh juga lahir dalam keluarga yang berbudaya dan mampu mendidik. Keluarga harus menjadi tempat belajar yang nyaman dan aman bagi anak dalam mengembangkan potensinya, bukan menjadi tempat diktator yang mengatur hidup anak. Sebagaimana yang diungkap Sayling wen (2003) bahwa peran keluarga bukan menjadi atap bagi anak, tetapi  menjadi tanah yang subur dimana anak-anak itu merupakan benih. Benih itu diawal pertumbuhhannya harus hidup di tanah yang memberikan banyak mineral untuk benih itu bertumbuh. Hal ini senada dengan Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara, biarkan anak-anak menjadi sebuah taman-taman yang berbunga cantik. Vygotksy dalam konstruktivisme sosialnya bahwa anak-anak akan mengkontruk lingkungan sosialnya dalam hal ini keluarga, sehingga keluarga harus dikonstruk kebaikan yang menghiasai kehidupan keluarga tersebut, Sehingga peran keluarga tidak tergantikan yang utama adalah Orang tua atau pun anggota keluaraga yang lain. 

Zaman terus berubah, Peran orang tua/ keluarga tak tergantikan sebagai sebuah taman yang subur dimana benih –anak-anak – tumbuh dan berkembang di usia kritis dalam mengenal dunia. Keluarga yang sehat dansakinah, mawaddah warohmah menjadi sebuah taman yang sangat subur untuk benih-benih yang unggul. 

Orang tua hendaknya hadir dengan jiwa dan raga, bukan dalam bentuk materi, karena materi bisa menjadi pestisida yang justru dapat merusak tanaman yang baru berkembang tersebut, dan orang tua tidak menjadi orang tua helikopter yang senantiasa mengontrol dan mengatur kehidupan anak, hal ini bisa merusak pertumbuhan benih tadi karena terlahalng pohon besar yang mengahalangi sinar matahari menerpa benih yang baru tumbuh ini. 


Partisipasi Politik Warga Negara dalam Pemilu

Rabu, 08 Januari 2014

Oleh

FERIYANSYAH

Indonesia merupakan negara demokrasi langsung Direct Democration terbesar di dunia. Oleh karena itu Indonesia menjadi sebuah negara dengan penyelenggaraan pemilu terbanyak. Pemilu di Indonesia dalam tingkat rendah pemilihan kepala desa, pemilihan bupati/walikota, pemilihan gubernur, pemilihan Presiden dan wakil presiden, pemilu legislatif.tetapi dengan banyaknya pemilu yang terjadi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu belum signifikan.
Fenomena yang paling baru, Golput menjadi pemenang dalam beberapa pemiihan umum kepala daerah (Pemilukada). Seperti Pmelihan Kepala Daerah di Jawa Barat dan Sumatera Utara bahwa persentase masyarakat yang golput lebih besar dari persentase pemenang pemilukada.  Faktor apakah yang menyebabkan fenomena ini terjadi? Ataukah trust (kepercayaan) masyarakat terhadap pemerintah semakin rendah? merupakan pertanyaan mendasar yang muncul jika kita melihat hal ini.
Demokratisasi adalah reformasi demokratik-liberal yang maju, yang mengimplikasikan pemberian kebebasan-kebebasan dasar dan perluasan partisipasi populer dan pilihan elektoral (Kalidjernih 2010:29). Jadi, Hakikat demokratisasi adalah keterlibatan aktif warga negara atau partisipasi warga negara dalam pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, partisipasi warga negara merupakan nyawa utama dari demokrasi. Proses demokratisasi tidak lepas bagaimana mendidik warga negara untuk menjadi warga negara yang demokratis. Oleh karean itu Pendidikan Demokrasi menjadi solusi dari rendahnya partisipasi warga negara.
Pendidikan demokrasi memiliki 3 tujuan pokok yaitu  :
1.      Memfasilitasi warganegara untuk mendapatkan berbagai akses kepada dan menggunakan secara cerdas berbagai sumber informasi tentang demokrasi dalam teori dan praktik untuk berbagai konteks kehidupan sehingga ia memiliki wawasan yang luas dan memadai (well-informed)
2.      Memfasilitasi warganegara untuk dapat melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan bertanggungjawab terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi dan praksis demokrasi guna mendapatkan keyakinan dalam melakukan pengambilan keputusan  individual atau kelompok dalam kehidupannya sehari-hari berargumentasi atas keputusannya itu
3.      Memfasilitasi warganegara untuk memperoleh dan memanfaatkan kesempatan berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab dalam praksis kehidupan demokrasi di lingkungannya, seperti mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat, memilih, serta memonitor dan mempengaruhi kebijakan publik.
( Winataputra US dan Budimansyah D, 2007 : 219)

Dalam Tujuan yang ketiga dari Pendidikan demokrasi adalah mefasilitasi agar warga negara dapat berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam praksis kehidupan demokrasi dilingkungannya. Pemilu merupakan partisipasi dasar bagi seorang warga negara, karen sudah terjadwal dan sangat menentukan.
Keterlibatan warga negara dalam Pemilihan Umum merupakan keterlibatan dasar, partisipasi dasar bagi warga negara. rendahnya partisipasi warga negara dalam pemilihan umum merupakan manifest dari masih belum optimalnya pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan pendidikan kewarganegaraan bagi warga negara. sehingga warga negara menjadi apatis dan memilki trust (kepercayaan) yang rendah terhadap pemerintah. Citizen Participation is fundamental to democratic governance. The problem has been addressed in the citizen participation literature in a myriad of ways, including the use of technology to involve citizens in the decision making process. (D’Agostino, 2006:2) Partisipasi warganegara adalah hal fundamental dalam tata pemerintahan yang demokratis. Masalah sudah ditujukan di dalam partisipasi warganegara dalam banyak cara, termasuk di dalamnya pemakaian teknologi untuk melibatkan warganegara dalam proses pengambilan keputusan.


Daftar bacaan
Winataputra US dan Budimansyah D, (2007). Civic Education : Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas, SPS UPI Bandung.

D’Agostino, Maria J. (2006). Social Capital: Lessons from a Service-Learning Program. Center For Civic Engagement. Park University International

Lorem

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.

Ipsum

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.

Dolor

Please note: Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.