Konstruksi Warga Negara Melalui Sistem Pendidikan
(catatan tujuan pendidikan nasional masa orde baru dan reformasi)
Oleh
Feriyansyah
Siapa dan bagaimana warga negara Indonesia ? pertanyaan
yang akan memulai dalam tulisan ini. Pada masa Hindia Belanda, Hindia Belanda
membagi tiga kompoenen dari warga Hindia Belanda, Eropa, Timur Asing dan Bumi
Putra, yang ketiga-tiga memiliki hak dan kewajiban yang berbeda sebagai seorang
warga.
Disadari atau tidak setiap negara berushaa membentuk
warga negara agar sesuai dengan keinginan negara. Negara yang dikelola oleh
penguasa, dengan relasi kuasa mebentuk warga negara sesuai dengan konsep dan
kebenaran yang mereka ciptakan. Jika memandang dari padangan Foucault
menyajikan pemahaman yang lebih mendalam guna memberikan dasar mengenai
bagaimana warga (manusia,pen) sebagai sebuah konsep politik terbentuk (Robert
dan Hendrik 2014). Dari pernyataan Foucault ini
memberikan gambaran bahwa kontruksi diri warga terbentuk dari kekuatan
diluar dirinya. Hal ini terlihat bahwa pembentukan identitas warga negara
terbentuk kekuatan kuasa dari negara.
Awal kemerdekaan terjadi perdebatan siapa yang menjadi
warga Indonesia? ada konsep tentang orang Indonesia asli dan warga keturunan.
Selanjutnya dalam orde baru pasca peristiwa 1965 ada negara mengkontruksi warga
Pancasilais, Agamis dan warga komunis, sebagai hasil dari peristiwa politik
tersebut. Negara kembali menghasilkan pengetahuan tentang siapa dan bagaimana
warga negara Indonesia.
Pasca reformasi, disadari atau tidak ada sebentuk
pemebntukan konsep untuk mengkontruksi warga negara negara Indonesia kembali
berdasarkan kondisi sosial dan ekonomi, warga miskin, menengah kebawah,
menengah keatas, masyarakat atas. Beberapa bulan lalu, menarik ketika terjadi
perdebatan ketika ada pengosoangan kolom agama, maka Negara kembali
mengkontruksi warga yang memeluk agama yang diakui dan agama yang tidak diakui
bahkan ada yang dianggap melenceng dari ajaran agama yang keenam, maka diluar
itu diaggap warga kelas kedua. Selanjutnya dalam bidang politik lebih
menyedihkan lagi, warga hanya sebagai komoditas untuk mendpatkan legitimasi
kekuasaan, sehingga upaya pembodohan warga negara di bidang politik merupakan
usaha untuk terus melanggengkan kekuasaan. Padahal jiwa dari demokrasi adalah
partisipasi cerdas dari warga negara. Oleh karenya, didalam pemikiran Foucault
pertanyaan mengenai warga harus memulai dengan pertanyaan mendasar “bagaimana
kekuasaan bekerja dalam sejarah dalam membentuk siapa itu warga?”
Sebagai contoh kita ambil dari dua sistem pendidikan
nasional Indonesia, dalam UU. No 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan
pendidikan Nasional Indonesia diharapkan membentuk manusia Indonesisa : dari tujuan pendidikan diatas bahwa negara
secara sadar akan membentuk warga negara Indonesia dengan ke sembilan karakter
yang harus tumbuh dan berkembang dalam diri warga negara. UU No. 20 taun 2003
adalah aturan hukum yang muncul pasca peristiwa reformasi.
Untuk menjadikan bahan
perbandingan kita lihat tujuan Pendidikan dalampasal 4 UU no. 2 Tahun
1989 tentang pendidikan nasional yang muncul pada era orde baru. Dalam UU
Sisidiknas tahun 1989 tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia yang
seutuhnya yaitu Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Ada beberapa perbedaan yang
mendasar ketika kita melihat tujuan dari pendidikan nasional Indonesia pertama,
UU No. 20 tahun 2003 memberikan garis tentang berakhlak mulia,
sedangkan dalam UU Sisdiknas 1989 konsep
yang dibangun adalah berbudi pekerti luhur, sehingga muncul satu
pertanyaan bagaimana negara memberikan standarisasi dari warga yang berakhlak
mulia dengan berbudi pekerti luhur. Walau keduanya sama-sama
berbicara tentnag tabiat seorang manusia. Pada era orde ada badan-badan khusus
yang dibentuk pemerintah untuk mengajarkan bagaiamana penafsiran Pancasila yang
dihasilkan negara untuk menciptakan warga negara yang berudi pekerti luhur.
Menurut hemat saya pada era reformasi (UU Sisdiknas tahun 2003) warga negara
mebentuk dirinya dari berbagai ajaran kebaikan dari keyakinan yang dianutnya –
walaupun akhirnya akan adanya standarisasi beragama lagi –. Pancasila pada era
itu benar-benar ditafirsan sampai secara praktik. Lihat contoh BP7 ( Badan
Pembina Pelaksana Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila atau mata
pelajaran PMP ( Pendidikan Moral Pancasila).
Kedua, pada era reformasi sistem
pendidikan harus menghasilkan warga negara yang demokratis dengan sistem
pendidikan yang demokratis, sedang pada masa orde baru (UU No. 2 Tahun 1989) serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jika kita dapat
memaknai rasa tanggung jawab kamsyarakatan dan kebangsaaan bisa disalah
tafsirkan harus mengikuti apa yang diinginkan oleh negara. Sedangkan warga
negara yang demokratis sangat mengharap warga negara untuk mampu berpikir
kritis agar mampu berpartisipasi secara cerdas.
Penutup
Warga negara merupakan instrumen penting bagi
sebuah negara untuk mencapai tujuanya. Tetapi relasi kuasa yang terbentuk bukan
justru menghilangkan sisi kemanusiaan dari warga negara. konsepsi warga negara
Indonesia akan terus berkembang sesuai dengan produksi pengetahuan dari relasi
kuasa. Jadi sejarah kontruksi siapa itu
warga terus berkembang. Tulisan ini sebuah refleksi sederhana yang masih banyak
kekurangan, semoga bermanfaat.