Fakultas
Pendidikan Guru Universitas Sakhin Israel
Mahasiswa Magister Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak: Konflik antara kelompok beda agama adakalanya
muncul pada siswa Umat Kristiani dan Umat Muslim Israel-Arabi di Sekolah EFL.
Dalam rangka mencoba meningkatkan pengetahuan siswa tentang saling menghormati
dan menghargai terhadap keyakinan orang lain di suatu wilayah atau tempat, saya
menyelenggarakan praktik pembelajaran inquiry
pada kelas Middle-Eastern yang
berisi siswa dengan agama yang berbeda-beda. Hal yang mendasar pada kemelekan
kritis (critical literacy), saya
menggunakan buku dengan dasar agama yang telah diatur, disamping kelekatan
kemelekan kritis yang digalakan untuk melihat perubahan pada diri siswa terkait
toleransi terhadap keyakinan yang berbeda.Artikel ini menggambarkan perjalanan
saya dalam menyelidiki respon siswa terhadap bacaan yang berdasar agama dan persoalan-persoalan
agama.
Kata kunci: agama, perbedaan, literatur multikultural,
kemelekan kritis, stereotip, Israel
Literatur
yang mendasarkan pada agama mampu membantu menangkap momen yang dapat
diajarkan untuk menolong siswa belajar dan
memiliki rasa hormat terhadap segala bentuk perbedaan agama (Zeece, 1998,
p.246)
Saya
suka ketika kamu menundukkan kepala di mesjid, berlutut di kuil, berdoa di
gereja.Anda dan saya adalah para anak dari satu agama, dan itulah jiwa. (Kahlil
Gibran, n.d)
Persaingan
antara kelompok beda agama adalah kejadian yang biasa di Israel. Empat agama
yang berbeda hidup di Israel, Yahudi, Islam, Kristen, dan Druze (suatu agama
yang tertutup terhadap Islam) tetapi secara relatif tidak selalu hidup
berdampingan dengan damai di negara yang kecil ini (Louer, 2007).Konflik
berkaitan dengan latar belakang agama adakalanya muncul di desa yang kecil di
wilayah Galilee di Israel, sebuah desa yang dihuni oleh umat Kristiani dan umat
Muslim Arab.Dua insiden kekerasan terjadi beberapa tahun lalu. Salah satu
contoh adalah laki-laki muslim yang melamar pekerjaan. Insiden lain terjadi di
suatu tempat dimana dua orang anak laki-laki seusia 11 tahun berkelahi, satu
orang kristiani dan satunya muslim,diakhiri dengan 10 orang dari keluarga anak
laki-laki muslim tersebut mendatangi dan menyerang rumah anak laki-laki
kristiani tadi. Orang kristiani yang bertetanggan dengan orang muslim selalu
bermusuhan, dan pertengkaran hebat terjadi pada dua kelompok itu. Beberapa
orang terluka dan sebagian lagi ditangkap.
Permasalahan
ini juga tercermin di sekolah.Di kelas yang saya ajar selama 16 tahun, tepatnya
di sekolah dasar dan sekolah menengah di desa saya.Saya telah mengamati
bagaimana rasa saling tidak menghormati antara siswa berlangsung karena
permasalahan yang banyak terjadi, latar belakang agama adalah penyebab konflik
yang paling menonjol. Pertengkaran antara siswa umat kristiani dan umat muslim
telah menjadi hal yang familiar dan biasa. Biasanya pertengkaran akan terjadi
diantara dua siswa, satu orang dari masing-masing agama berkembang ke arah yang
lebih luas ketika siswa lainnya bergabung dan mendukung orang yang berasal dari
satu agama yang sama.
Tambahan
dari pengamatan terhadap siswa di sekolah saya, pada saat istirahat hal yang
tampak adalah hanya sedikit siswa yang bermain
dengan kelompok berbeda agama. Kebanyakan mereka akan bermain dengan
teman yang satu agama. Seperti sebuah realitas yang membawa saya memutuskan
untuk mengambil tindakan dengan mulai membicarakan persoalan bertema kelas “English as a foreign language (EFL)”. Bercita-cita
untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang rasa saling menghormati terhadap keyakinan dan agama yang berbeda di
desa, saya menggunakan dasar agama sebagai literatur, sebagaimana
direkomendasikan oleh Zeece (1998) pada kutipan di awal artikel ini, berharap
bahwa “momen yang dapat diajarkan” ini dapat memunculkan dan memberikan hasil
yang dapat diantisipasi. Artikel ini menguraikan tentang keterlibatan siswa
terhadap kemelekan topik perbedaan agama diantara siswa. Setelah menjelaskan
buku pelajaran yang saya gunakan, saya menampilkan dan menganalisis
bagian-bagian data dan merefleksi apakah kurikulum yang saya gunakan mengarah
pada perubahan pemahaman siswa, terhadap sikap nya, dan orang yang berasal dari
agama lain di luar agamanya.
Didasari
oleh teori lierasi kritis (kemelekan kritis) (Freire, 1972; Janks, 2010;
Luke&Freebody, 2000; Penycook, 1994, 1999), penelitian saya memilih untuk
membawa pengalaman siswa ke dalam kelas. Saya secara khusus mengikuti kerangka
empat dimensi dari literasi kritis (lihat Tabel 1): a) mengganggu kejadian yang
telah biasa terjadi (lumrah); (b) mempertimbangkan pandangan ganda; (c)
memfokuskan pada sosio-politik; dan (d) mengambil tindakan untuk memajukan
keadilan sosial (Lewison, Flint, & Van Sluys, 2002; Lewison, Leland, dan
Hartse, 2008), berharap siswa mulai bertanya tentang kepercayaan stereotip pada
keyakinan yang berbeda, memandang sesuatu dari perspektif orang lain, menyalahgunakan
kepentingan pribadi untuk mendiskusikan permasalahan pada masyarakat mereka,
dan bertindak untuk merubah pandangan kedalam satu hal yang lebih baik (Freire,
1972)
Meluruskan
hal ini dengan peneliti yang menerapkan critical
literacy pada bidang EFL (e.g Correia, 2006: Fredricks, 2007;
Izadinia&Abednia 2010), saya tentu dianggap menyimpang dari arah pengajaran
tradisional yang telah diikuti oleh para pengajar bahasa pada umumnya melalui
buku bacaan yang sebelumnya sudah ditentukan dan menjawab secara keseluruhan tentang
pertanyaan-pertanyaan gramatikal dalam buku tugas. Persoalan perbedaan agama
telah hilang dari buku teks yang digunakan di sekolah saya, sebagaimana pada
buku teks yang digunakan di Amerika Serikat.Ketika menilai 60 buku teks mata
pelajaran Social Studies yang
digunakan di Amerika Serikat, Vitz (1986) menemukan bahwa tidak ada referensi
tentang agama. Ndura (2004) menyingkap realitas yang sama ketika meninjau enam
buku ESL. Dia berpendapat bahwa tidak adanya bagian yang menjelaskan tentang
perbedaan agama merupakan sebuah kontradiksi terhadap diskusi Association for Supervision and Curriculum (Asosisasi
Supervisi dan Kurikulum/ASCD) tentang agama dalam kurikulum, bahwa “seseorang
tidak bisa dididik secara penuh tanpa pemahaman terhadap aturan tentang agama
dalam sejarah dan politik” (ASCD, 1987, p.21, dalam Ndura, 2004, p.149) Ndura
berpendapat,
Mengindarkan topik perbedaan agama
sebagai salah satu penilaian dalam buku teks ESL tidak hanya akan membatasi
siswa untuk membongkar realitas utama dari dunia mereka dan pemahaman mereka
tentang perbedaan agama itu, tetapi juga akan membingungkan mereka. Hal
tersebut akan membatasi kemampuan siswa untuk menghadapi dan merekonsiliasi
terhadap perbedaan agama mereka. (p.149)
Untuk
mengindarkan pembatasan itu, saya memperkenalkan buku bergambar multikultural
tentang perbedaan agama dan menggunakan buku tersebut sebagai batu loncatan
untuk mendiskusikan persoalan-persoalan agama.
Tabel 1.Empat Dimensi
Literasi Kritis
a)
Mengacaukan hal yang sudah biasa dan lumrah: menjadi suatu
kesadaran dari pesan yang tersembunyi terhadap individu/kelompok, menentang
praktik taken for granted (diterima
sebagai sesuatu yang benar), mengembangkan dan menggunakan bahasa pada
tinjauan dan realitas problematis serta menampilkan satu hal yang berbeda.
b)
Mempertimbangkan pandangan yang berbeda dan ganda:
memberikan kesadaran pada suara-suara yang diam dan termarjinalkan, mencoba
untuk memahami pengalaman dan bacaan dari pandangan lain, berdasarkan
perspektif yang banyak dan berbeda dari suatu masalah, mendekatkan aspek yang
banyak atau multi dan kontradiktif pada bacaan atau kejadian, dan
memperdebatkan cerita atau tulisan yang berlawanan sebagai wacana ilmiah yang
dominan.
c)
Memfokuskan pada sosial-politik: beralih melebihi keadaan
personal untuk menilai sistem sosial-politik dalam masyarakat, mempertanyakan
legitimasi dari kekuatan hubungan yang tidak seimbang; menyelidiki tekanan
yang muncul; hak-hak istimewa; dan keadaan, serta menggunakan kemelekan
sebagai suatu yang berarti untuk berpartisipasi dalam politik di kehidupan sehari-hari
(Lankshear&McLaren, 1993)
d)
Mengambil tindakan untuk memajikan keadilan sosial:
menggunakan kemelekan untuk memajukan keadilan sosial dan merubah serta
mengembangkan ke arah aktivis sosial dengan suara yang sangat kuat yang
berbicara tentang perlawanan dari
ketidakadilan.
|
Menggunakan
Literatur Multikultural untuk Anak di Kelas
Buku
multikultural menggambarkan “kelompok yang termarjinalkan karena ras, gender,
etnis, bahasa, kemampuan, usia, kelas sosial, agama/spiritualitas, dan/atau
orientasi seksual” (Muse, 1997, p.1). Mereka menggambarkan kehidupan orang dari
kebudayaan yang bermacam-macam dan kelompok minoritas
[Tambahan, mereka] mengembangkan
kesadaran, pemahaman, dan apresiasi orang yang pertama kali melihat secara
sekilas berbeda dari pembaca; menampilkan suatu hal yang positif dan
menenangkan pada representasi pembaca satu kelompok budaya; [dan]
memperkenalkan pembaca pada suatu tradisi kesusastraan perbedaan kebudayaan
dunia atau kelompok kebudayaan (Jacobs&Turnell, 2004, p.216)
Memilih
buku-buku yang relevan untuk kehidupan siswa adalah suatu hal yang bermanfaat
baik untuk mayoritas maupun minoritas siswa (Al-Hazza, 2006;
Al-Hazza&Bucher, 2008; Yokota, 1993). Tidak hanya meberikan kesempatan
untuk siswa dari kebudayaan yang minoritas untuk memahami dan mengembangkan
pendirian dalam warisan mereka dan membangun konsep diri yang positif, tetapi
juga membiasakan diri seluruh siswa dengan kebudayaan-kebudayaan lain daripada
yang mereka miliki, dengan demikian, menolong mereka untuk mengembangkan
pemahaman terhadap perbedaan satu dengan yang lainnya dan memperlengkapi mereka
dengan sesuatu yang lebih baik untuk hidup di tengah masyarakat dengan budaya
yang berbeda.
Literatur
anak merefleksikan perbedaan keyakinan yang mempertimbangkan satu dari banyak cara yang baik untuk menolong
pemahaman siswa terhadap perbedaan agama (Peyton&Jalongo, 2008:
Green&Oldendorf, 2005: Zeece, 1998). Seperti Rettig (2002) menegaskan, “Menolong
siswa untuk sadar pada apa yang penting dari suatu agama tertentu adalah juga
tahapan penting terhadap pemahaman seseorang yang percaya pada agama itu”. (p.
196). Peyton&Jalongo (2008) mengusulkan bahwa dalam rangka mendorong rasa
saling menghormati antar beda keyakinan , guru perlu untuk (a) membiasakan
siswa dengan keyakinan, adat istiadat, ritual keagamaan, pakaian, simbol-simbol
melalui informasi yang akurat; (b) mengidentifikasi keyakinan yang lumrah
diantara keyakinan atau kepercayaan yang berbeda; (c) mengakui bahwa perbedaan
keyakinan ada di masyarakat tanpa perlu mengikuti apa yang mereka percayai; (d)
menegaskan hak-hak setiap orang termasuk bangga dengan apa yang diyakini. Buku
dengan kualitas tinggi yang mendasarkan pada agama adalah peralatan yang
potensial untuk meraih keberhasilan seperti tujuan-tujuan.
Dalam
konteks pengajaran saya, menggunakan beberapa buku mungkin akan mengeliminasi
stereotip dari suatu agama, Kristen dan Islam, berpegangan satu sama lain. Buku
yang memiliki kekuatan tersebut mungkin menyediakan refleksi terhadap hidup
kita dan jendela terhadap kehidupan orang lain (Galda, 1998), lensa mata
melalui siswa yang dapat bertanya tentang realitas permasalahan mereka dan
dengan penuh harap dapat merealisasikan tindakan bahaya yang membabi buta dari
suatu kepercayaan dan aturan. Mereka mungkin dapat membangkitkan siswa dari “efek
mati rasa pada kelompok homogen dan pengalaman hidup yang tidak jauh berbeda”
(Miclntyre, 1997)
Untuk
membuat kemelekwacanaan dalam kurikulum saya, saya menggunakan literatur
multikultur, meminta pertanyaan menantang, dan mengundang siswa untuk
mengekspresikan persepsi mereka tentang realitas dan bacaan melalui tugas
lisan, tulisan, dan seni dengan tipe yang berbeda-beda. Saya berharap untuk
bisa mengeksplorasi apa yang terjadi ketika seorang guru membaca literatur
tentang persoalan-persoalan keagamaan dengan lantang terhadap remaja
Isreali-Arab dalam konteks ESL dan menyediakan ruang untuk mereka menjawab
bacaan-bacaan tersebut. Akankah siswa mengambil undangan tersebut dan mulai
menempatkan persoalan-persoalan tersebut pada kebiasaan yang kritis?
Perjalanan
Penelitian Saya
Sebagai
seorang guru dan peneliti (Hubbard&Power, 2003), saya mengadakan penelitian
melalui kursus bahasa inggris selama enam minggu pada musim panas
2010.Penelitian ini berlokasi di sekolah tingkat menengah di desa saya di
Galilee-Israel, sebuah desa yang ditempati oleh sekitar dua pertiga Kristen
Arab dan satu pertiga Muslim.Sebuah desa yang seluruhnya asli Kristen, tetapi
Muslim sebagai pendatang beberapa dekade lalu dan menetap di sekitar desa.Dewasa
ini, penduduk muslimtinggal di daerah pinggiran sementara penduduk kristiani
tinggal di dalam pedesaan. Meskipun semua siswa di desa pergi ke sekolah yang
sama, mereka kembali pada kelompok dan tetangga yang seagama pada saat pulang
sekolah. Pemisahan demografis terlihat berkontribusi pada permasalahan agama di
desa ini.
Semenjak
kursus membutuhkan level Bahasa Inggris yang lumayan untuk memahami buku-buku
cerita dan menjawab dalam bahasa Inggris kembali, siswa pada level lanjutan di
kelas 9 (21 siswa) diundang untuk berpartisipasi. Sepuluh siswa setuju untuk
berpartisipasi dan mengembalikan surat persetujuan orang tua mereka (7
perempuan dan 3 laki-laki, usia 14-15 tahun). Mereka bergabung dengan kelas
intensif saya untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Rasio
partisipan dengan latar belakang agama ialah 7 Kristen dan 3 Muslim.
Bagaimanapun tidak semua siswa menghadiri kursus dikarenakan terkait kegiatan
mereka pada liburan musim panas. Siswa yang berpartisipasi secara terperinci,
yaitu Nasma (Seorang perempuan muslim), Luna dan Rawan (Perempuan Kristen), dan
Waala (Laki-laki Kristen). Mereka adalah warga negara Arab-Israel yang datang dari kelas keluarga menengah.
Pengalaman mereka yang kaya, wawasan yang amat luas, dan pemikiran mereka yang
canggih tidak dapat disamakan dengan kemampuan mereka dalam Bahasa Inggris.Walaupun
secara signifikan kemampuan bahasa Inggris mereka melebihi rata-rata di
kelompoknya, tetap saja kemampuan bahasa Inggris mereka layaknya siswa kelas 9
SMP. Jurang diantara aspek kognitif dan espektasi sosial dan l kemampuan bahasa
Inggris evel menengah mengharuskan pendekatan yang tajam akan materi kritik
melalui bahasan yang mudah. Semenjak hal itu tantangan untuk membaca dan
merespon secara kritis dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, saya
memilih buku bergambar yang terkelola dengan tingkat kesukaran tata bahasa yang
akan mendorong siswa untuk mengekspresikan pikiran mereka melalui suatu cara
yang dapat dilakukan seperti menggambar. Mereka juga menawarkan kemungkinan
untuk menukar bahasa ke bahasa Arab ketika mendapati ide mereka sulit
dikemukakan dalam Bahasa Inggris
Data
terdiri dari video saat kursus, respon siswa terhadap teks (menulis refleksi,
kolase, poster, surat, slogan, sketsa, dan artefak seni lainnya); refleksi
penelitian jurnal; grafik dan poster diskusi; foto saat siswa sedang bekerja;
interaksi antar siswa; bertukar ide dan presentasi. Untuk analisis respon
siswa, saya terlebih dahulu menilai tema yang muncul melalui model alternatif
analisis tema.Saya kemudian mencermati apakah siswa mengacu pada empat dimensi
kemelekwacanaan atau literasi kritis yang menjadi kerangka kerja. (Lewison et
al, 2002; Lewison et.al, 2008)
Gambaran
Kesatuan pada Perbedaan Agama
Untuk
memulai pembicaraan terkait konflik yang muncul antara kelompok umat Kristiani
dan Muslim di desa dan di sekolah, saya memulai dengan unit membaca dengan
lantang dua buku bergambar yang berupaya memajukan toleransi dan pemahaman
tentang perbedaan agama God’s Dream (Tutu&Abrams,
2008) dan Many Ways: How Families
Practice Their Beliefs and Religions (Kelly, 2006). Sebagai suatu penutup
pada unit ini, saya membaca Fathers and
Fools (Fox, 1989)
God’s Dream (Tutu&Abrams, 2008) membuka
suatu pendekatan terhadap persoalan sensitif ini dengan siswa-siswa dari latar
belakang agama yang berbeda. Buku ini menyampaikan pesan bahwa anak yang
melihat, memakai, berbicara, dan berdoa secara berbeda-beda, semuanya adalah
anak Tuhan dan seharusnya hidup berdampingan dengan damai satu sama lain. Ini memfokuskan pada kesamaa
daripada perbedaan.Siswa juga pernah meminta untuk menghubungkan teks dengan
hidup mereka melalui pengujian atau penilaian aspirasi idealis penulis.Apakah
gambar idealis dari anak-anak yang sedang bermain bersama, seperti digambarkan
dalam buku, sesuai atau menyimpang dari realita yang terjadi pada mereka?Apakah
mereka yang menolong anak beawal dari persamaan atau perebedaan agama?Apa yang
membimbing pilihan mereka untuk memilih teman?
Tabel 2.Silabus Unit
Perbedaan Agama
Book Used
|
Curriculum Activities
|
God’s Dream (Tutu&Abrams, 2008)
|
·
Siswa memilih dan berbagi ketertarikan/kekuatan/kesesuaian
kutipan, menulis tetang mimpi mereka, mendiskusikan pesan penulis, dan
merespon pada ‘sebuah jurnal bicara’
|
Many Ways: How Families Practice
Their Beliefs and Religions (Kelly,
2006)
|
·
Siswa berbagi foto tentang tradisi agama mereka yang
berbeda
|
Fathers and Fools (Fox, 1989)
|
·
Siswa mempresentasikan foto pertengkaran antara Muslim dan
Kristiani, mendiskusikan apa manfaat yang mereka dapatkan dari situasi di
desa mereka.
·
Siswa mengajukan cara-cara yang mungkin bisa diambil
tindakannya
·
Siswa “Sketsa untuk Memperlunak”
|
Untuk
menghubungkan teks dengan kehidupan siswa, siswa diundang untuk memilih suatu
kutipan dari buku yang menurut mereka menarik, menguatkan, dan sesuai dan
menuliskannya (lihat Tabel 2). Literasi tambahan melibatkan pada buku yang
mendorong siswa untuk menulis tentang mimpi mereka, dan merefleksikannya dalam
kutipan dari buku di “sebuah jurnal bicara” (Lewison et.al, 2008, p.195) dan
untuk mencermati pesan penulis dan
membayangkan bagaimana buku akan berbeda jika suatu agama menguasainya.
Buku kedua,
Many Ways: How Families Practice Their
Beliefs and Religions (Kelly, 2006), adalah buku dengan banyak warna
tentang sebuah keyakinan dan praktik agama dari orang-orang yang berbeda dan
agama yang bervariasi. Buku ini memunculkan kesadaran siswa pada ‘perbedaan
ritual keagamaan dan pada kesamaan antara keluarga mereka serta mereka yang
berakar pada tradisi dan praktik keyakinan agama mereka’ (catatan penulis).
Buku dimulai dengan foto bernuansa vivid (hidup) anak-anakyang datang ke
sekolah yang sama dan bermain bersama tetapi berdoa kepada Tuhan yang berbeda.
Gambar itu melukiskan praktik dan pendirian Budhist, Kristiani, Muslim, Yahudi,
Hindu, dan Sikhtetapi berakhir dengan pesan bahwa semua agama mengajarkan
kesamaan nilai: kasih sayang dan kepedulian satu sama lain.
Cerita
berakhir dengan kalimat tentang apakah semua agama mengajarkan (kasih sayang
dan kepedulian satu sama lain). Siswa diminta untuk membawa ayat bukti dari
kitab suci mereka masing-masing. Papan tulis bercabang ke dalam dua bagian
dengan dua aspek utama: Kristiani dan
Islam. Siswa yang menginginkan untuk berkontribusi menulis ayat dalam kitab
suci mereka di papan tulis dengan arahan yang pantas. Siswa yang lain berani
untuk maju dan menggambar garis antara ajaran yang sama dari kedua kelompok
agama. Tujuan dari aktivitas ini adalah untuk memunculkan kesadaran siswa akan
perbedaan antara kedua agama, mereka berbagi nilai yang sama dan berdoa pada
Tuhan yang sama.
Untuk
memajukan suatu pemahaman tentang praktik keagamaan dari agama lain di luar
gamaa mereka, siswa Muslim dan Kristiani di kelas musim panas ini diundang
untuk membawa foto dari kegiatan keagamaan keluarga mereka (seperti hari libur
keagamaan, makanan dalam perayaan agama, hari besar keagamaan) dan menulis
paragraph pendek untuk menceritakan foto tersebut.
Buku
terakhir adalah Fathers and Fools (Fox,
1989), sebuah buku yang menceritakan sebuah konflik yang dimulai antara angsa
dan burung merak karena ketakutan mereka terhadap perbedaan yang mereka miliki
sehingga mengarah pada perang yang sengit dan mengakibatkan burung-burung dari
kedua kubu mati. Setelah membaca buku ini, saya mengundang siswa untuk
menggambar sketsa agar memperlunak “Sktech
to Stretch” (Harste, Short&Burke, 1988), sketsa untuk menggambarkan
cerita yang menganalogikan angsa dan burung merak. Siswa menghasilkan sketsa
yang amat besar dari konflik yang terjadi di wilayah mereka, sekalipun tidak
spesifik tentang satu agama (untuk sketsa dan analisis detil lihat Hayik, 2011)
Banyak dari
siswa yang merespon persoalan ini sebagai suatu yang umum dan dianulir secara
politis.Bagaimanapun disana terdapat dua wilayah selama kursus dimana siswa
menyentuh aspek yang mungkin spesifik untuk kontkes agama mereka, ketika mereka
berbagi tentang foto dari kegiatan keagamaan keluarga mereka dan ketika mereka
mempersiapkan dan menampilkan slogal untuk memperkenalkan perbedaan agama. Sesi
selanjutnya didedikasikan untuk respon mereka (siswa)
Foto Hari Libur Keagamaan Seorang Siswa
Gambar 1 Foto Rawan dan Deskripsi dari Upacara Keagamaannya
Ketika
diminta untuk membawa foto tradisi kegiatan hari libur keagamaan agamanya, dua
orang siswa membawa foto yang mereka anggap spesial, dan memperlihatkannya
kepada kelompok mereka.Rawan, seorang siswi Kristiani memilih foto dirinya saat
berusia satu tahun ketika Palm Sunday bersama tantenya.Tambahannya, dia menceritakan
ikatan antara dirinya dan tantenya, dia kemudian menceriratakan tradisi Palm
Sunday dengan singkat.
Laporan
singkat Rawan adalah tentang pergi ke gereja pada hari raya Paskah mungkin
bukan merupakan hal yang baru bagi Nasma (satu-satunya siswi muslim). Sejak
Nasma tinggal di desa di suatu desa yang terkenal dengan populasi umat
Kristiani, dia lebih diarahkan pada hari libur keagamaan mereka dari pada
agamanya sendiri. Melihat faktanya bahwa umat Muslim tinggal di pinggiran desa
lebih baik daripada pusat kesibukan dimana sekolah dan pusat bisnis berlokasi,
Muslim sering pula berkunjung ke pusat kota tersebut. Penduduk Kristiani, di
sisi lain, jarag pergi ke tetangganya yang Muslim.Sebagaimana hasil yang
didapat, mereka sama sekali tidak berkenalan dengan budaya muslim dan kegiatan
keagamaan mereka.
Gambar 2 Foto Nasma dan Deskripsi dari Upacara Keagamaannya
Nasma,
seorang siswi Muslim, juga membawa foto firinya. Di dalam fotonya, dia berdiri
dengan ibu dan kakak perempuannya di depan Mesjid Al-Aqsa di Jerusalem.
Semuanya mengenakan jilbab saat kunjungan tersebut.Meskipun Nasma dan kakak
perempuannya bukan perempuan yang religious, suatu pernyataan mengharuskan
Msulim perempuan untuk mengenakan hijab.Di bagian bawah foto dia menuliskan
tentang dirinya.
Ini
terlihat sangat penting bagi Nasma untuk membagi kisah tentang foto tersebut,
meskipun umat Kristiani di desanya sangat sensitif terhadap wanita berkerudung.
Sejak desanya dihuni oleh sebagian besar umat Kristiani, dan sangat banyak
perempuan Muslim di desanya, khususnya remaja, tidaklah ‘religius’, anak
Kristen di desanya tidak toleran terhadap teman seusianya seperti Nasma
mengenakan kerudung. Mereka akan sangat antipasti terhadap Nasma.
Sesuai pada
realitas foto Nasma memang memiliki signifikansi.Ini berbeda dari biasanya,
dari umat Kristiani. Diluar foto perayaan hari besar agama-agama siswa lain,
Nasma justru membawa hal yang tidak biasa dengan menampakkan dirinya
berkerudung. Mengingat siswa lainnya membawa foto tentang upacara keagamaan, makanan
di perayaan hari besar agamanya, dan pakaian yang dikenakan, dan pesta (Begler,
1998), Nasma menyelami lebih dalam dan menceritakan perasaan yang sangat
personal terkait tempat yang seakan rumah baginya.
Sebagai
seorang siswa minoritas Muslim dengan mayoritas Arab Kristen dan Umat Yahudi di
desanya, pilihan Nasma untuk membawa foto dirinya yang berkerudung terlihat
menunjukkan identitasnya sebagai Muslim.Membandiingkan dengan banyak perempuan
Muslim di negara-negara barat memilih menggunakan kerudung sebagai penegasan
identitas Islam mereka. Wing dan Smith (2005) menceritakan bagaimana perempuan
di Prancis mengadopsi penutup kepala dalam pencarian identitas mereka saat
menginjak usia dewasa. Hal ini menandakan sense
of belonging (rasa keterikatan).Kulenovic (2006) menemukan bahwa imigran
perempuan Muslim di Eropa Barat dan perkumpulan di Amerika, yang mana mereka
adalah kaum minoritas, merubaha perspektif mengenakan kerudung sebagai simbol
tekanan sosial menjadi simbol kebebasan dan pembedaan identitas sosial.
Kebebasan pilihan mereka untuk menggunakan kerudung mengindikasikan identitas
islam yang modern. Bagi mereka, penutup kepala adalah salah satu cara
memperlihatkan identitas mereka. Ketika membandingkan penggunaan kerudung di
negara Muslim masyoritas seperti Indonesia
dengan negara muslim minoritas seperti India, Wagner, Sen, Permanadeli,
dan Howart 92012) menemukan perbedaan signifikan antara keduanya. Padahal alasan untuk berkerudung bagi perempuan
Muslim mayoritas adalah prinsip, fashion, dan kesopanan dalam beragama,
kebanyakan perempuan muslim minoritas melihat kerudung sebagai ‘sebuah cara
untuk menegaskan identitas kultural’ dan untuk membedakan mereka dari
masyarakat yang begitu luas dan berbeda (p.521). Pilihan Nasma untuk membawa foto
dirinya yang berhiijab (meskpiun dia
tidak sepenuhnya menggunakan hijab) mengindikasikan aspirasi yang sama untuk
membedakan dirinya dari mayoritas identitas yang ada dan menegaskan
identitasnya secara jelas.
Meskipun
siwa yang lain tidak merespon dengan apa yang Nasma perlihatkan, melihat
kedekatan mereka, menerima temannya yang Muslim dan mengenakan hijab kemudian
menceritakan pengalaman spesialnya di Mesjid Al-Aqsa mungkin sangat berpotensi
meningkatkan toleransi mereka terhadap perempuan Muslim. Di waktu yang akan
datang mereka menemukan perempuan berkerudung, mereka mungkin akan mulai
melihat seseorang yang sebenarnya dibalik kerudung itu.
Tambahan respon
yang sangat banyak terhadap persoalan yang dibahas di kursus musim panas ini
ialah ketika siswa merancang slogan untuk memajukan perdamaian dan hidup
berdampingan antara dua kelompok agama di desa.Kreatifitas siswa dalam membuat
slogan dijelaskan pada bagian berikutnya.
Slogan-Slogan
untuk Memajukan Sikap Toleransi Beragama
Sepanjang kursus berjalan, saya mengundang siswa untuk
mengajukan cara lain memajukan hubungan yang damai antara dua kelompok beda
agama di desa. Mereka mengusulkan untuk mempersiapkan slogan dan menampilkannya
di jalan-jalan utama pedesaan, mendemonstrasikan perlawanan terhadap konflik
agama.Slogan-slogan yang mereka buat dan presentasikan di Figure 3
Beberapa
siswa mempersiapkan satu slogan, terkecuali Luna yang merancang dua buah
slogan. Mereka lalu meninggalkan kelas dan berdiri di pinggir jalan, kemudian
melintasi kantor walikota (lihat gambar 4). Mereka memegang slogan yang telah
mereka buat dengan bangga namun terlihat malu-malu dan mereka menunggu para
pejalan kaki untuk berhenti kemudian menanyakan tentang pesan yang mereka
sampaikan pada slogan.Sayangnya beberapa orang hanya lewat dan tidak
memberhentikan kendaraannya.Hanya sedikit orang yang berjalan di sore hari di
musim panas, tetapi hanya salah seorang saja yang berhenti dan membaca
slogan-slogan itu.
Slogan itu
menyatakan bahwa siswa-siswi menyoroti sisi problematis dari sebuah realitas. Perkelahian antara umat
Muslim dan Kristiani adalah hal yang menakutkan bagi Rawan, dan begitu halnya
menurut Nasma, “tidak ada satu orang pun yang membutuhkan masalah”. Berhenti
bertengkar akan mengalihkan kegelapan kepada cahaya, seperti yang dikatakan dan ditampilkan Walaa. Merubah
dunia ke arah yang lebih baik, adalah slogan yang dibuat Walaa.
Di slogan
mereka, dua orang siswa menekankan kebutuhan
sebagai sebuah kelompok, begitu pula kata yang mereka gunakan di slogan,
“kita”: “kita menginginkan kehidupan yang damai” (dalam slogan Luna) dan “kami
membutuhkan kedamaian” (dalam slogan Nasma). Arti perdamaian di sini rupanya
memiliki dimensi yang lain, sejak Luna menunjukkan slogan tentang perdamaian
antar agama (Kristiani dan Muslim bergandengan tangan menciptakan dunia yang
damai) sementara Nasma menambahkan singakat “M” dan “Ch” pada slogannya.
Dalam
slogan-slogan mereka, siswa menciptakan kekuatan yang menunjukkan sesuatu yang
tidak boleh tidak atau perintah.Mereka meminta orang-orang untuk “berhenti dan
berpikir” (Nasma) dan “berhenti bertengkar” (Rawan dan Walaa).Mereka juga
menggunakan kata bersajak untuk menjelaskan efek dari beberapa permintaan yang
mereka buat dalam slogan.
Gambar 4. Siswa mendemonstrasikan perdamaian di jalan-jalan
utama melalui slogan yang mereka buat
Slogan yang
dibuat siswa secara khusus menarik perhatian karena mereka merespon terhadap
pertengkaran di desa mereka daripada mencermati persoalan yang lebih besar yang
terjadi dengan negaranya Israel.Di bagian sebelumnya, siswa berulang kali
menjawab undangan saya untuk berdiskusi tentang persoalan-persoalan agama
dengan memulai membahas permasalahan yang terjadi pada agama di desanya.Latar
belakang permasalahan yang muncul di desa mereka tidak secara signifikan
menjadi urusan mereka bahwa mereka juga menempatkan kontkes politik yang lebih
luas di negaranya. Mereka terlalu fokus dan lebih menyukai “politik luas” daripada
“politik sempit” (Janks, 2010). Seperti contoh, setelah membaca dua buku
pertama, saya menampilkan foto kepada siswa, foto dari kerusakan yang terjadi
di desa setelah dua kelompok Kristiani dan Muslim saling serang. Ketika saya
bertanya apa yang mereka rasakan, mereka menjawab “tidak ada” dan “kami harus
menghadapi sistuasi ini”. Bagaimanapun slogan tersebut mengindikasikan sesuatu
hal yang berbeda: mereka sebenarnya peduli tentang permasalahan yang terjadi di
desan mereka. Melalui slogan yang dibuat siswa, mereka mengekspresikan bahwa konflik agama merupakan sebuah fakta, sesuatu yang
menakutkan, dan berdampak pada kualitas hidup mereka di desa.
Slogan
mereka juga mencerminkan realitas dari perspektif yang berbeda daripada respon
orang lain secara keseluruhan. Secara umum, respon siswa pada peristiwa ini
berubah-ubah dari umum ke khusus. Sebelum saya mengangkat penelitian saya, saya
heran apakah pandangan dan kritik yang banyak akan menampilkan respon yang
sebenarnya ketika siswa mengenal literatur tentang perbedaan agama dan
menyediakan ruang untuk mereka merespon. Bagian selanjutnya akan menjelaskan
secara lengkap tentang penelitian dan data yang lebih cermat terkait empat
dimensi kemelekwacanaan dan mengeksplor dimensi kritik yang berbeda yang dihasilkan
dari respon siswa.
Diskusi,
Implikasi, dan Kesimpulan
Empat dimensi kemelekwacanaan memunculkan respon yang
istimewa dari artikel ini.Nasma menggungat suatu hal yang lumrah dan telah
dianggap biasa, yakni dengan menampilkan fotonya yang sedang berjilbab. Pilihan
tersebut merupakan suatu tantangan terhadap status quo di desanya, juga
terhadap praktik taken for granted (sesuatu
yang telah dianggap benar dan diterima) pada diri remaja perempuan yang tidak
menggunakan kerudung. Hal ini merupakan penyimpangan dalam pandangan normal
mayoritas orang-orang Kristiani di desanya.Colby and Lyon (2004) mencermati
literatur sebagai suatu alat yang mengabadikan dan menghancurkan stereotip.
Foto yang ditampilkan Nasma mungkin akan menentang stereotip dari seorang
perempuan berkerudung. Ketika siswa Kristiani memandang bahwa perempuan muslim
yang berkerudung itu primitive, hal itu bersifat popular, teman sekelasnya juga
meraih prestasi yang baik, dan menjadi kekaguman bagi guru dan siswa di
sekolah, dengan kerudung, stereotip mereka tentang muslim mungkin akan berubah.
Dimensi kedua, mempertimbangkan pandangan yang multi
perspektif, juga muncul dari foto yang dibawa Nasma.Siswa umat Kristiani yang
lain yang berpikir normal dan merasa segan terhadap perempuan berkerudung
seperti Nasma mungkin akan mulai berpikir dari perspektif perempuan muslim.
Mereka mungkin akan mulai mengetahui pendapat-pendapat yang tadinya tidak
pernah muncul dan termarginalkan (Luke&Freebody, 1997), mencoba untuk
memahami pengalaman dari berbagai perspektif sebagai masukan terhadap
perspektif mereka sendiri secara bersamaan. Mendengar kegemberiaan yang
ditampakkan Nasma saat berkunjung ke Mesjid, tempat ibadah agamanya dan
mengenakan hijab mungkin juga akan meningkatkan toleransi mereka terhadap siswa
lain yang berbeda keyakinan. Mereka juga akan mulai melihat lebih dalam tentang
Nasma dibalik kerudungnya dan menerima ideologinya
sebagai suatu keputusan.
Dimensi sosial-politik memunculkan pandangan yang luas
tentang siswa dan mereka mulai beralih pandangan untuk mengatasi persoalan-persoalan
keagamaan.Mereka menggunakan literasi sebagai sesuatu yang bermakna dalam
politik dan keseharian mereka (Lankshear&McLaren, 1993), secara lebih
spesifik ketika mereka merancang slogan untuk memajukan perdamaian antara
kelompok agama yang berkonflik di desa.
Siswa siswi juga mengambil tindakan untuk memajukan keadilan
sosial melalui slogan-slogan dan pergi ke jalan-jalan utama desa kemudian
berbagi pada para penduduk.Slogan yang mereka buat berisi pesan tentang
keadilan dan demokrasi di dunia, menulis kembali tentang identitas sosial
mereka yang menentang status quo dan menginginkan perubahan, mengembangkan
kekuatan pendapat dan berbicara tentang perlawanan melawan ketidakadilan
(Lewiosn et.al, 2008, p.12). Bahkan ketika mereka terkontaminasi perubahan yang
amat kecil dari suatu sikap dan pandangan, aktivitas tersebut akan menyediakan
satu kemungkinan untuk tindakan perubahan. Dalam konteks dimana orang dari
kedua kelompok agama terlibat dalam pertengkaran dan saling klaim tentang hak
mereka masing-masing, kursus yang diadakan memperlengkapi siswa untuk suatu
tindakan yang diharapkan akan diterapkan pada situasi di masa depan.
Untuk menyatukan perbedaan agama, saya menggunakan buku
bergambar untuk meningkatkan keberanian siswa untuk mulai menantang
penyimpangan pemikiran dalam agama mereka dan memajukan pemahaman tentang
toleransi dan rasa saling menghormati terhadap orang yang berbeda agama. Saya
berharap buku yang saya pilih dan yang mendampingi keterlibatan literasi dapat
menyediakan “momentum yang dapat diajarkan” (Zeece, 1998, p.246) untuk
meningkatkan pengetahuan siswa dan hormat terhadap agama lain di desanya.
Tujuan saya adalah untuk menolong mereka memperluas alasan yang mereka dapatkan
dan memahami secara mendalam tentang perbedaan agama dan konflik yang timbul,
dengan demikian mereka dapat melihat perspektif lain dan menjadi pemikir yang
aktif yang muncul dari pendirian kritis (McLaughin&DeVoogd, 2004,
pp.61-62). Seperti suatu tujuan yang diputar untuk memperluas pernyataan yang
sempit dan hal itu akan menghasilkan. Menantang akar yang dalam dari
permasalahan agama merupakan hal yang lebih sulit daripada yang saya bayangkan.Siswa
mencoba untuk memajukan hubungan yang damai antara dua kelompok agama di
desanya melalui slogan, tetapi kecuali dalam beberapa kasus, mereka lebih
menyukai untuk menempatkan topik pernyataan umum dan menunjuk pada konflik
antara Arab dan Yahudi di negara ini.Hal tersebut lebih baik daripada Kristiani
dan Muslim yang berkonflik di wilayah desanya. Kurikulum yang saya terapkan
menggerakan banyak pikiran, kepercayaan, dan perasaan di dalam kepala, jiwa,
dan hati para siswa, tetapi apa yang terlihat dan terdengar memberikan jawaban
bahwa apa yang mereka hasilkan tidak banyak merubah pandangan mereka terhadap
persoalan perbedaan agama. Namun demikian, efek dari upaya ini mungkin tidak
banyak terlihat, tersembunyi, sampai pertengkaran berikutnya muncul.Saya merasa
ragu bagaimana siswa saya kana bertindak kemudian. Akankah mereka mengambil
tindakan untuk suatu perubahan sikap, atau akankah mereka bergabung dalam
pertengkaran berikutnya sama dengan keluarga mereka, atau akankah mereka tetap
bertindak berbeda dengan berpikir itu urusan mereka? Hanya waktu yang akan
menjawabnya.