Perempuan Sebagai Warganegara
Oleh
Putri Atikah *
Dosen Luar Biasa Politeknik Negeri Medan,
Alumni Magister Sosiologi USU
Tulisan ini untuk menyambut 35 Tahun Muhammad Iqbal M.Si.
Dari berbagai kajian kewarganegaraan, sedikit yang melibatkan perempuan di dalamnya. Teoritikus seperti Marshall, Mann dan Turner pun lalai dalam melibatkan perempuan sebagai warganegara. Mann yang dipengaruhi Marxisme, memandang penting kelas ekonomi dalam kewarganegaraan. Sementara Turner, memandang penting identitas etnisitas, ras dan agama dalam isu kewarganegaraan (Faulks, 2012). Namun tidak ada di antaranya yang memandang penting perempuan dalam isu kewarganegaraan.
Perempuan
yang diposisikan sebagai kelompok kelas dua setelah laki – laki, dipercayai
hanya mampu mengurusi ranah privat; fungsi reproduksi yang diteruskan menjadi
fungsi melayani suami dan mengurusi rumah tangga. Sementara laki – laki yang
diposisikan sebagai kelompok kelas satu, dipercayai lebih kompeten dan paham
tentang urusan publik, termasuk dalam hal politik (baca: negara &
kewarganegaraan). Anggapan ini tentu berasal dari pembagian peran laki – laki
sebagai pencari nafkah di ruang publik, maka dianggap lebih paham tentang seluk
beluk ruang publik.
Dalam
isu kewarganegaraan, nasib perempuan nampaknya tak jauh beda dengan nasib para
kelas buruh, kelompok ras dan agama minoritas dalam sebuah negara. Perempuan
seringkali menjadi korban kelalaian negara, bila tidak mau dibilang korban
diskriminasi negara. Misalnya, dalam tulisannya berjudul “Gagasan Manusia
Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer”, Robertus Robet melihat
ketertindasan perempuan sebagai warganegara melalui peraturan hukum yang
merepresi tubuh perempuan. Menurutnya, dengan dalil moralitas dan pencegahan
kekerasan seks, berbagai peraturan hukum cenderung merepresi tubuh perempuan,
bukan malah memberikan akses keamanan bagi perempuan. Jadi, hak perempuan
sebagai wargenegara yang harusnya berhak mendapatkan rasa aman, beralih menjadi
kewajiban untuk menjaga “birahi laki - laki”.
Keterwakilan Perempuan dalam Negara
Keterwakilan
perempuan dalam lembaga negara diharapkan dapat mewujudkan keadilan bagi
perempuan sebagai warganegara. Namun demikian, yang harus dipahami,
keterwakilan perempuan tidak hanya keterwakilan secara kuantitatif. Memang
dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih patriarkhis, keterwakilan
perempuan harus dijamin dalam suatu peraturan hukum, misalnya seperti quota 30%
untuk perempuan di parlemen.
Namun
hal ini masih menimbulkan banyak permasalahan, pertama perempuan sebagai kelompok kelas dua sering kali mengalami
banyak hambatan, bukan hanya dari kondisi partai politik yang sering kali
didominasi sudut pandang laki – laki, tetapi juga kesulitan meraup suara
pemilih yang memandang perempuan sebelah mata. Kedua, alih – alih mewakili kepentingan kaumnya, perempuan sering
kali malah dijadikan agen untuk melanjutkan dinasti kekuasaan laki – laki.
Beberapa kasus pemilhan kepala daerah, perempuan dijadikan agen untuk
meneruskan kekuasaan suaminya yang sudah berkuasa dua periode.
Dalam
kondisi seperti ini, perlu dilakukan rekonstruksi maupun dekonstruksi tentang
wacana perempuan sebagai warganegara. Negara maupun masyarakat punya peranan
penting dalam hal ini. Pertama,
pengarusutamaan jender dalam institusi pendidikan punya peranan penting.
Bagaimanapun instistusi pendidikan berperan sebagai agen sosialisasi di dalam
masyarakat. Pengarusutamaan jender ini diharapkan dapat
menciptakan konstruksi berpikir masyarakat yang lebih adil. Kedua, penguatan potensi perempuan.
Negara maupun kelompok masyarakat sejenis civil
society dapat mengupayakan hal ini. Perempuan yang diposisikan sebagai
kelompok ranah privat (rumah tangga) sering kali dianggap tidak kompeten
bekerja di institusi negara. Oleh karena itu, akses perempuan terhadap
pendidikan harus dibuka selebar – lebarnya. Walaupun pada faktanya, laki – laki
yang berada di institusi negara juga banyak yang tidak kompeten, namun untuk
mewujudkan perjuangan perempuan,
penguatan potensi perempuan adalah sebuah keharusan. Inilah yang akan
membuat signifikansi keterwakilan perempuan di dalam institusi negara. Upaya
ini diharapkan dapat mendukung keterwakilan perempuan dalam institusi negara
untuk mewujudkan keadilan.
Bagaimanapun,
perempuan seperti halnya laki – laki harusnya memiliki hak yang sama sebagai
warganegara. Untuk mewujudkan ini, memang perlu dilakukan pula berbagai kajian
kewarganegaraan yang lebih peduli pada perempuan. Kajian – kajian tersebut
diharapkan dapat mendorong perwujudan keadilan bagi perempuan sebagai
warganegara. Karena pada kenyataannya, perjuangan keadilan bagi perempuan sama
pentingnya dengan perjuangan kaum buruh, kaum petani, kaum minoritas dan kaum terindas
lainnya.