ampak TIK terhadap kehidupan warga menjadi sebuah lahan kajian yang sangat menarik dalam bidang studi kewargaan – keilmuan Pendidikan Kewarganegaraan – sebagai usaha mempersiapkan generasi digital berkontribusi dalam masyarakat digital.
info lebih lanjut : http://kitamenulis.id
FILSAFAT DAN IDEOLOGI
Rabu, 08 Agustus 2018
FILSAFAT DAN IDEOLOGI
Oleh
Feriyansyah
Filsafat dan Ideologi merupakan kata yang sering salah konsep. Kita sering menganggapnya sama saja, karena kita tidak mau repot mendudukan dan mendaimaikan antara keduanya. sehingga kita tidak bisa sembarang menggunakan filsafat dan ideologi, yang jelas filsafat bukan ideologi. Dimana letak perbedaannya ?
Dalam tulisan "Menggali Pancasila sebagai filsafat Politik" karya F Budi Hardiman dapat dijadikan rujukan bagaimana kita memposisikan pancasila yang merupakan sebuah ideologi sebagai Filsafat Politik tanpa menghilangkan jiwa dari filsafat yaitu proses kemerdekaan berpikir. Megapa harus demikian, karena kita sering salah bahwa demi cita-cita luhur sebuah ideologi kita mengeliminasi rasionalitas dan proses berpikir sehingga kita seakan gagal move on dari proses indoktrinasi ideologi sebagai satu-satunya cara untuk mewariskan ideologi kepada generasi selanjutnya. Filsafat bukan ideologi, ideologi merupakan isi doktriner yang lengkap dan siap pakai, sedangkan filsafat merupakan pemikiran yang melandasi ideologi ( Hardiman 2018). Sehingga ideologi harus tetap menghormati kemerdekaan berpikir karena ideologi lahir dari sebuah kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
Ideologi menuntut keyakinan sedangkan filsafat sebuah proses mencari sebuah keyakinan sehingga bisa dijadikan sebuah dasar pemikiran bagi sebuah keyakinan. Sehingga dalam proses mencari dasar rasional itulah filsafat mengajak berpikir (Hardiman 2018). secanggih apapun keindahan yang disuguhkan sebuah ideologi dia menuntut kemampuan berpikir kritis dari warga negara. oleh karena itu, kedua istilah ini sering bertentangan tetapi laten dar semuanya itu tetap ada.
Perempuan Sebgai Warganegara
Selasa, 13 Desember 2016
Perempuan Sebagai Warganegara
Oleh
Putri Atikah *
Dosen Luar Biasa Politeknik Negeri Medan,
Alumni Magister Sosiologi USU
Tulisan ini untuk menyambut 35 Tahun Muhammad Iqbal M.Si.
Dari berbagai kajian kewarganegaraan, sedikit yang melibatkan perempuan di dalamnya. Teoritikus seperti Marshall, Mann dan Turner pun lalai dalam melibatkan perempuan sebagai warganegara. Mann yang dipengaruhi Marxisme, memandang penting kelas ekonomi dalam kewarganegaraan. Sementara Turner, memandang penting identitas etnisitas, ras dan agama dalam isu kewarganegaraan (Faulks, 2012). Namun tidak ada di antaranya yang memandang penting perempuan dalam isu kewarganegaraan.
Perempuan
yang diposisikan sebagai kelompok kelas dua setelah laki – laki, dipercayai
hanya mampu mengurusi ranah privat; fungsi reproduksi yang diteruskan menjadi
fungsi melayani suami dan mengurusi rumah tangga. Sementara laki – laki yang
diposisikan sebagai kelompok kelas satu, dipercayai lebih kompeten dan paham
tentang urusan publik, termasuk dalam hal politik (baca: negara &
kewarganegaraan). Anggapan ini tentu berasal dari pembagian peran laki – laki
sebagai pencari nafkah di ruang publik, maka dianggap lebih paham tentang seluk
beluk ruang publik.
Dalam
isu kewarganegaraan, nasib perempuan nampaknya tak jauh beda dengan nasib para
kelas buruh, kelompok ras dan agama minoritas dalam sebuah negara. Perempuan
seringkali menjadi korban kelalaian negara, bila tidak mau dibilang korban
diskriminasi negara. Misalnya, dalam tulisannya berjudul “Gagasan Manusia
Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer”, Robertus Robet melihat
ketertindasan perempuan sebagai warganegara melalui peraturan hukum yang
merepresi tubuh perempuan. Menurutnya, dengan dalil moralitas dan pencegahan
kekerasan seks, berbagai peraturan hukum cenderung merepresi tubuh perempuan,
bukan malah memberikan akses keamanan bagi perempuan. Jadi, hak perempuan
sebagai wargenegara yang harusnya berhak mendapatkan rasa aman, beralih menjadi
kewajiban untuk menjaga “birahi laki - laki”.
Keterwakilan Perempuan dalam Negara
Keterwakilan
perempuan dalam lembaga negara diharapkan dapat mewujudkan keadilan bagi
perempuan sebagai warganegara. Namun demikian, yang harus dipahami,
keterwakilan perempuan tidak hanya keterwakilan secara kuantitatif. Memang
dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih patriarkhis, keterwakilan
perempuan harus dijamin dalam suatu peraturan hukum, misalnya seperti quota 30%
untuk perempuan di parlemen.
Namun
hal ini masih menimbulkan banyak permasalahan, pertama perempuan sebagai kelompok kelas dua sering kali mengalami
banyak hambatan, bukan hanya dari kondisi partai politik yang sering kali
didominasi sudut pandang laki – laki, tetapi juga kesulitan meraup suara
pemilih yang memandang perempuan sebelah mata. Kedua, alih – alih mewakili kepentingan kaumnya, perempuan sering
kali malah dijadikan agen untuk melanjutkan dinasti kekuasaan laki – laki.
Beberapa kasus pemilhan kepala daerah, perempuan dijadikan agen untuk
meneruskan kekuasaan suaminya yang sudah berkuasa dua periode.
Dalam
kondisi seperti ini, perlu dilakukan rekonstruksi maupun dekonstruksi tentang
wacana perempuan sebagai warganegara. Negara maupun masyarakat punya peranan
penting dalam hal ini. Pertama,
pengarusutamaan jender dalam institusi pendidikan punya peranan penting.
Bagaimanapun instistusi pendidikan berperan sebagai agen sosialisasi di dalam
masyarakat. Pengarusutamaan jender ini diharapkan dapat
menciptakan konstruksi berpikir masyarakat yang lebih adil. Kedua, penguatan potensi perempuan.
Negara maupun kelompok masyarakat sejenis civil
society dapat mengupayakan hal ini. Perempuan yang diposisikan sebagai
kelompok ranah privat (rumah tangga) sering kali dianggap tidak kompeten
bekerja di institusi negara. Oleh karena itu, akses perempuan terhadap
pendidikan harus dibuka selebar – lebarnya. Walaupun pada faktanya, laki – laki
yang berada di institusi negara juga banyak yang tidak kompeten, namun untuk
mewujudkan perjuangan perempuan,
penguatan potensi perempuan adalah sebuah keharusan. Inilah yang akan
membuat signifikansi keterwakilan perempuan di dalam institusi negara. Upaya
ini diharapkan dapat mendukung keterwakilan perempuan dalam institusi negara
untuk mewujudkan keadilan.
Bagaimanapun,
perempuan seperti halnya laki – laki harusnya memiliki hak yang sama sebagai
warganegara. Untuk mewujudkan ini, memang perlu dilakukan pula berbagai kajian
kewarganegaraan yang lebih peduli pada perempuan. Kajian – kajian tersebut
diharapkan dapat mendorong perwujudan keadilan bagi perempuan sebagai
warganegara. Karena pada kenyataannya, perjuangan keadilan bagi perempuan sama
pentingnya dengan perjuangan kaum buruh, kaum petani, kaum minoritas dan kaum terindas
lainnya.
WARGA (TANPA) NEGARA
Senin, 12 Desember 2016
WARGA (TANPA) NEGARA
Oleh
Oleh
Feriyansyah *
*Penulis merupakan Dosen Kewargaan FIP Unimed
**Tulisan ini menyambut 35 Tahun Muhammad Iqbal, S.Sos., M.Si. 12 Desember 2016
Perkembangan ilmu sosial dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat menakjubkan. Kajian-kajian ilmu sosial melintasi kajian yang kaku dan rigid. Kajian kewarganegaraan merupakan suatu kajian yang normatif tentang status sebagai warga negara. Status seseorang sebagai warga negara akankah menghilangkan dimensi sosial dari warga itu sendiri.
Tulisan ini menocba menggambarkan bagaiaman konteks manusia sebagai warga dipandang dari pisau analisis sosiologi khususnya analisis post-strukturalis (Post-modern). Kajian ini tidak lepas dari perkembangan manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individu. Perdebatan antara kemerdekaan Individu yang diatur oleh hegemoni negara. Dalam beberapa diskusi oleh Muhammad iqbal, ada beberapa hal yang menjadi ketertarikan bagi penulis untuk mengkaji studi kewarganegara dari pisau analisis sosiologi.
T.H. Marshal merupakan punggawa awal dari kajian kewarganegaran di dunia. T.H. Marshal memperkenal konsep kewargaan sosial. tetapi era kejayaan modern yang strukturalis maka kajian kewarganegaraan lebih kepada pendekatan positivistik melalui kajian hukum, sebagai dampak status warga negara sebagai bentuk status warga seorang Individu.
Dewasa ini seorang individu sebagai seorang manusia yang dikenal identitiasnya sebagai seorang warga mengalami fenomena yang paradox. Ternyata tidak semua manusia dapat masuk dalam status sebagai seorang warga negara. Ada manusia yang tidak dianggap manusia ataupun warga. Hal ini menjadi kajian menarik ketika mencoba melakukan analisis dari konsep homo Sacer yang diperkenalkan oleh giorgio Agamben.
Selanjutnya, kajian tentan kewarganegaraan semakin menarik ketika mencoba memakai pisau analisis Michel Foucault, Pierre Bourdiue, dan Jean Baudrillard yang diusing untuk mebongkar rezim kepastian dalam pemikiran kritis post Strukturalis dalam buku Haryatmoko. Negara tidak dapat lagi dipandanga sebagai sebuah lembaga yang penuh kebijaksanaan. Negara harus dihadapi dengan kecurigaan dengan kekuasaan yang melekat dari dirinya. Negara akan memproduksi kebenran menurut sudut pandang pandangan negara, bukan dari sudut warga. Saat ini saya lebih cocok menggunkan istilah kewargaan dari pada kewarganegaraan karena saya ingin mendekontruksi kembali hubungan antara warga dan negara.
Selanjutnya, kajian tentan kewarganegaraan semakin menarik ketika mencoba memakai pisau analisis Michel Foucault, Pierre Bourdiue, dan Jean Baudrillard yang diusing untuk mebongkar rezim kepastian dalam pemikiran kritis post Strukturalis dalam buku Haryatmoko. Negara tidak dapat lagi dipandanga sebagai sebuah lembaga yang penuh kebijaksanaan. Negara harus dihadapi dengan kecurigaan dengan kekuasaan yang melekat dari dirinya. Negara akan memproduksi kebenran menurut sudut pandang pandangan negara, bukan dari sudut warga. Saat ini saya lebih cocok menggunkan istilah kewargaan dari pada kewarganegaraan karena saya ingin mendekontruksi kembali hubungan antara warga dan negara.
Kajian kewargaan, menjadi sebuah lapangan kajian yang kian seksi ketika kita mencoba menggunakan pendekatan analisis Wacana Kritis, sehingga, kajian kewargaan jelas harus berpihak kepada warga untuk mebongkar hegemoni kepastian dan kebenaran yang diproduksi oleh negara. Sehingga, dekontruksi terhadap kebenaran pengetahuan yang diproduksi negara akan di kritisi oleh warga sehingga warga tersadar bahwa mereka sedang dibentuk sebagaimana konsep disiplin dan tbuh Foucault. Warga juga harus terbebas dari Panoptik yang seakan-akan melahirkan ketakukan bagi warga untuk mengkritisi negara.
Warga negara merupakan sebuah entitias yang merdeka dari berbagai hegemoni. Negara sebagai sebuah Republik perlu menjaga mana bagian private warga dan urusan publik warga. Negara tidak bisa lagi menjadi lembga yang memperdaya warga bahkan membodhi warga. Negara terbentuk oleh warga bukan sebaliknya seorang warga terbentuk oleh negara.
Tulisan ini merupakan bentuk, penghargaan akan diskusi-diskusi yang dilakukan oleh penulis oleh Muhammad Iqbal sebagai seorang sosiolog (Sosiologi Pendidikan) seorang Soiologi Kewargaan. smeoga kajian kedepannya dapat membongkar bagaimana kekuasaan ternyata meperdaya kita sebagai seorang manusia yang menjadi seorang warga.
terima kasih, semoga dalam usia yang semakin matang beliau dapat terus mengembangkan keilmuan, dan kajian-kajian sosial baik tingkat lokal Sumatera Utara dan Nasional bahkan Internasional. Tetap Membaca dan selalu menghadirkan distinction dalam artian invoasi.
Langganan:
Postingan (Atom)
Lorem
Please note:
Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.
Ipsum
Please note:
Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.
Dolor
Please note:
Delete this widget in your dashboard. This is just a widget example.