Oleh
FERIYANSYAH
FERIYANSYAH
Keluarga merupakan pendidikan utama bagai seorang anak dalam perkembangan kepribadiannya. Karena anak akan belajar mengenal dunia diawal kehidupan dalam lingkungan keluarga. Usia batita (bawah tiga tahun) dan balita (Bawah lima tahun) merupakan usia kritis dalam perkembangan anak, dalam artian pada usia tersebut anak benar-benar membutuhkan peran orang tua karena usia tersebut anak mulai belajar hal-hal mendasar bagi kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu, orang tua seharusnya memiliki peran yang besar dan bahkan tidak tergantikan dalam mendidik anak pada usia kritis ini.
Perkembangan Teknologi mengakibatkan dampak yang luar biasa pada kehidupan manusia. Kita bisa melihat bagaimana perkembanganteknologi mengakibatkan mobilitas manusia semakin cepat sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Perubahan ini berdampak pula terhadap peran orang tua dalam kehidupan anak. Dalam membagi ini kita dapat melihat teori generai dari Strauss dalam membagi generasi mulai dari tahun 40-an sampai sekarang.
Dalam teori Generasi yang diungkapkan Strauss, anak-anak yang saat ini berada di Sekolah merupakan Generasi Z, yaitu generasi yang dilahirkan antara tahun 1994 sampai sekarang. Generasi Z lebih dikenal dengan generasi digital karena mereka lahir pada era digital, dimana peralatan digital telah menjadi bagian yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Anak-anak generasi Z dilahirkan oleh orang tua yang merupakan Generasi X akhir dan Generasi Y awal.
Generasi X akhir dan Generasi Y awal merupakan generasi workaholic (pecandu Kerja) tipikalnya pekerja keras. Kedua generasi saat ini saat ini sudah berada dalam kemapamanan ekonomi dibanding generasi sebelumnya. Generasi X akhir dan Generasi Y merupakan generasi yang sangat besar secara kuantitias dan para Pasukan/Angkatan Pekerja (workforce).
Dengan Kondisi Generasi Akhir X dan Generasi Y terjadi pergeseran fungsi keluarga, keluarga seperti ikatan formal saja. Dengan Kesibukan workaholoic (baik laki-laki dan Perempuan dalam generasi X dan Y, pen) dari orang tua sehingga anak kurang mendapatkan kasih sayang. Waktu kebersamaan dengan anak sangat terbatas, dan bahkan orang tua pulang ketika anak sudah tidur. Sehingga ini yang dikatakan bahwa Kemajuan Teknologi elektronik telah menggeser kedudukan orang tua sebagai sumber informatik, pepatah, ceritera, dongeng, dan sebagai media pendidikan agama yyang telah difilter orang tua, diganti dengan berbagai judul yang tidak sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan anak. Sehingga Kecenderungan-kecenderungan diatas menunjukkan adanya pergeseran fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan.
Sebagaimana Sebuah perkataan Ali bin Abi thalib
“ belajarkanlah anak-anak kamu karena mereka adalah makhluk yang akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu sekarang”
Hal ini penting menjadi dasar perenungan kita bahwa ana-anak kita akan hidup dalam kondisi yang berbeda dengan kita saat ini. Sehingga pendidikan harus mampu berjalan melintasi waktu ntuk dapat memprediksi kebutuhan anak-anak dalam belajar sesuai dengan zamannya. Dalam hal ini, Orang tua juga harus belajar bagaimana mendidik anak agar orang tua mengetahui kebutuhan anak dalam belajar. Bukan menentukan anak untuk belajar apa sesuai dengan keinginan orang tua. Orang tua menjadi orang tua helicopter yang mengontrol anak dan memeberikan anak semua tetapi tanpa didasari pengetahuan tentang kebutuhan nyata anak dalam belajar yaitu kehadiran kehangatan dari orang tua, bukan materi yang hadir.
Jelas permasalahan, perbaikan pendidikan dan pemecahan permasalahan pendidikan harus disertai tranformasi dan penataan budaya pendidikan dalam keluarga. Revitalisasi fungsi keluarga, hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan pendidikan bagi keluarga dan calon orang tua tentang tanggung jawab mereka ddalam mendidik anak ditengah kesibukan yang luar bisa dari orang tua yang workaholic. Seperti ketika akan berkeluarga penting kiranya dilakukan pendidikan pra-keluarga untuk mendidikan para calon orang tua akan tanggung jawab mereka terhadap generasi yang mereka hasilkan.
Anak yang cerdas dan Sholeh menjadi sebuah dambaan dari tiap keluarga , anak cerdas yang sholeh juga lahir dalam keluarga yang berbudaya dan mampu mendidik. Keluarga harus menjadi tempat belajar yang nyaman dan aman bagi anak dalam mengembangkan potensinya, bukan menjadi tempat diktator yang mengatur hidup anak. Sebagaimana yang diungkap Sayling wen (2003) bahwa peran keluarga bukan menjadi atap bagi anak, tetapi menjadi tanah yang subur dimana anak-anak itu merupakan benih. Benih itu diawal pertumbuhhannya harus hidup di tanah yang memberikan banyak mineral untuk benih itu bertumbuh. Hal ini senada dengan Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara, biarkan anak-anak menjadi sebuah taman-taman yang berbunga cantik. Vygotksy dalam konstruktivisme sosialnya bahwa anak-anak akan mengkontruk lingkungan sosialnya dalam hal ini keluarga, sehingga keluarga harus dikonstruk kebaikan yang menghiasai kehidupan keluarga tersebut, Sehingga peran keluarga tidak tergantikan yang utama adalah Orang tua atau pun anggota keluaraga yang lain.
Zaman terus berubah, Peran orang tua/ keluarga tak tergantikan sebagai sebuah taman yang subur dimana benih –anak-anak – tumbuh dan berkembang di usia kritis dalam mengenal dunia. Keluarga yang sehat dansakinah, mawaddah warohmah menjadi sebuah taman yang sangat subur untuk benih-benih yang unggul.
Orang tua hendaknya hadir dengan jiwa dan raga, bukan dalam bentuk materi, karena materi bisa menjadi pestisida yang justru dapat merusak tanaman yang baru berkembang tersebut, dan orang tua tidak menjadi orang tua helikopter yang senantiasa mengontrol dan mengatur kehidupan anak, hal ini bisa merusak pertumbuhan benih tadi karena terlahalng pohon besar yang mengahalangi sinar matahari menerpa benih yang baru tumbuh ini.
Note : Tulisan ini juga dipublish di http://edukasi.kompasiana.com/2014/01/11/pendidikan-dalam-keluarga-bagi-generasi-z-627214.html
0 komentar:
Posting Komentar
Comment as a good and Smart Digital Citizens, "say no to plagiat"